Senin, 27 Oktober 2008

Human Capital Sebagai Agen Perubahan


Human Capital Sebagai Agen Perubahan

Palo Alto di bulan Agustus 2001. Daun-daun berguguran dan udara masih menyisakan kesejukan. Pada kantor pusat Xerox Corporation. Seorang perempuan berbicara di depan para stakeholders perusahaan. Mulai dari komisaris, direksi, pemegang saham hingga karyawan biasa. Sang perempuan itu bernama lengkap Anne Marie Dolan Mulcahy. Biasa disebut Anne Mulcahy. Tidak ada yang istimewa pada penampilan perempuan berambut pirang ini. Hanya sapuan lipstik lembut menghias wajahnya. Yang istimewa adalah perempuan berpenampilan tidak istimewa ini pertama kali mengucapkan pidato di hadapan stakeholders Xerox corp sebagai CEO baru. Inilah babak baru sejarah Xerox dipimpin CEO berkelamin perempuan.Anne Mulcahy didaulat menjadi CEO ketika Xerox sedang berdarah-darah. Perusahaan yang dimasa lalu selama puluhan tahun menjadi raja bisnis dokumen ini sedang dililit aneka penyakit nan gawat. Aneka penyakit itu seperti; (1) utang sebesar 17,1 milyar dollar AS, (2) kas dikantong hanya 154 juta dollar AS, (3) saham rontok, dari 64 dollar AS menjadi 4 dollar AS per lembar, (4) kegemukan jumlah karyawan di atas 100 ribu, (5) produk yang kalah bersaing di pasar. Jika disimpulkan, Xerox siap untuk tinggal nama alias bangkrut. Namun disinilah letak istimewanya Anne Mulcahy. Melalui tangan midasnya, Anne mampu melakukan restrukturisasi perusahaan sehingga dalam waktu setahun mampu mendongkrak laba positif pada angka 91 juta dollar AS. Setahun berikutnya, yaitu 2003 Xerox mampu membukukan laba pada angka 360 juta dollar AS. Kemudian 2004 Xerox berkibar keuntungannya menjadi 859 dollar AS. Mengapa Anne mampu melakukan pekerjaan nan luar biasa ini? Sudah ribuan ulasan yang dikupas pada aneka media massa yang ada di planet ini untuk menjawab pertanyaan ini. Namun hanya sedikit yang mengulas tentang latar belakang Anne selama 30 tahun karirnya di Xerox. Padahal perjalanan karir Anne yang berawal dari posisi bawah bernama field sales representative dan berujung pada CEO, dapat menjelaskan mengapa Anne sukses melakukan restrukturisasi Xerox. Ada sepenggal karir Anne pada tahun 1992 – 1995 yang mempengaruhi pemikiran briliannya. Sepenggal karir itu pada posisi Vice President Human Resources (VPHR). Ketika menjadi VPHR, Anne mempunyai tanggung jawab kunci untuk membawa Xerox ke masa depan. Mengapa? Karena melalui divisinya, perusahaan mengharap para karyawan Xerox difasilitasi menjadi karyawan cakap bekerja, cerdas berpikir dan integritas bertindak. Dengan posisinya Anne bertanggung jawab untuk masalah pengembangan dan pelatihan karyawan, sistem karir, strategi SDM, hubungan perburuhan, hingga kompensasi dan benefit. Lebih strategis lagi adalah tugasnya sebagai agen perubahan dan mitra strategis organisasi. Pengalaman ketika menjadi VPHR ini yang menyebabkan Anne Mulcahy sukses membawa biduk perusahaan berselancar di gelombang perubahan. Sebagai agen perubahan Anne telah bertindak paripurna. Anne berhasil membawa perubahan maha dahsyat dari perusahaan yang nyaris bangkrut menjadi perusahaan bersinar. Anne mempraktikkan tiga kompetensi inti dari agen perubahan seperti yang dahulu dilakukannya ketika menjabat VPHR. Tiga kompetensi inti agen perubahan tersebut, pertama, change management skills. Keahlian mengelola perubahan ini ditandai oleh beberapa elemen kunci, yaitu: (a) kapasitas kepemimpinan dan jangkauannya dalam mengemudikan perubahan, (2) kecakapan dalam mengantisipasi kebutuhan bisnis untuk berubah, dan (3) kemampuan menggerakkan orang-orang untuk menghadapi perubahan. Tampak bahwa kepemimpinan Anne Mulcahy piawai dalam mengelola perubahan. Pesaingnya di pasar begitu digdaya untuk dilawan. Untuk industri mesin fotokopi bercocol kuat Sharp, Canon dan Ricoh. Sedang di printer ada raksasa Hewlett Packard dan Canon. Namun dengan campuran intuisi, pengalaman dan kecerdasan Anne Mulcahy mampu mengatasi itu semua. Beberapa elemen kunci mengelola perubahan itu dijalankan dengan penuh disiplin dan berujung pada kesuksesan.Kompetensi inti kedua yaitu bertindak sebagai coaching, fasilitator dan konsultan. Perubahan organisasi pada dasarnya seperti berjalan di lorong-lorong gelap. Banyak warga organisasi yang tertatih-tatih dalam menelusuri lorong-lorong gelap tersebut. Bahkan banyak pula yang tersesat untuk kemudian berhenti berjalan atau mengundurkan diri dari organisasi. Disinilah peran penting dari seorang agen perubahan. Sang agen harus mampu menjadi coach dan fasilitator untuk menunjukkan kemana lorong gelap menuju. Bahkan sang agen harus pula menjadi konsultan bagi setiap anggota organisasi yang kebingungan ataupun yang ingin mengundurkan diri lantaran saking tidak tahunya akan kemana kemudi organisasi mengarah.Kompetensi inti terakhir, ketiga yaitu kemampuan menganalisis sistem. Ketika perusahaan sedang bertumbuh, diperlukan pemimpin berjiwa entrepreneur. Dengan jiwa entrepeneur tersebut maka seluruh rintangan, tantangan, keterbatasan dan ketiadaan sistem manajemen yang rapi mampu dijawab dengan baik. Namun ketika perusahaan sudah membesar, memiliki ratusan bahkan ribuan pekerja, cabangnya ada dimana-mana dan struktur organisasi melebar maka yang diperlukan kemudian adalah pemimpin berbasis pada sistem.Untuk kasus yang dihadapi Xerox, pemimpin berbasis sistem menjadi sebuah keharusan. Disamping karena organisasinya sudah sangat besar, Xerox sendiri sedang melakukan proses perubahan. Lagi-lagi Anne Mulcahy sangat piawai dalam menganalisis sistem. Pertama yang dilakukan adalah membenahi sistem keuangan dan human capitalnya. Baru kemudian sistem lainnya semisal pemasaran, operasional, distribusi maupun divisi-divisi yang ada di Xerox. Pada human capital yang dibenahi adalah mengarahkan SDM untuk berbisnis pada tingkat high end dimana mengubah dari penyedia mesin dan layanan dokumentasi menjadi perusahaan jasa dengan teknologi digital sebagai motor penggeraknya.Di dunia human capital sekarang sedang berlangsung perdebatan panjang menyoal implementasi human capital sebagai agen perubahan. Perdebatan ini memang mencerdaskan karena menempatkan divisi human capital tidak sekedar bermain pada wilayah administratif belaka. Hanya saja perdebatan ini menjadi tidak berujung pangkal. Untuk mengembalikan perdebatan ini pada wilayahnya alangkah lebih elegan bila berkaca pada kasus Xerox dengan Anne Mulcachy. Ternyata human capital sebagai agen perubahan bukanlah wacana omong kosong. Namun dapat dipraktikan. Jejaknya sudah ada: Xerox dan bekas Vice President Human Resources nya, Anne Mulcachy.

Management By Humanity

MANAGEMENT BY HUMANITY

Bagaimana perilaku pelaku bisnis di tanah air? Pertanyaan pendek ini lumayan sulit untuk dijawab. Apabila muncul, jawabannya tidak akan sependek pertanyaan tersebut. Bahkan jawaban itu akan melingkar-lingkar tanpa ujung pangkal yang berakhir pada ketidakjelasan. Mengamati perilaku pelaku bisnis di tanah air memang sebangun dengan mencermati perilaku pemain politik di negeri tercinta. Nyaris tidak terpetakan lantaran cepat berubahnya perilaku mereka mengikuti arah angin yang menguntungkan.
Walaupun nyaris tidak terpetakan, perilaku mayoritas (jadi tidak semua) pelaku bisnis di negeri ini dapat digradasikan ke dalam empat tahap. Tahap pertama, cerdas. Perilaku cerdas bisa dibuktikan dengan produktivitas mereka. Pengusaha di Indonesia nyaris berasal dari kalangan kebanyakan, lantaran kaum bangsawan mengaggap berdagang itu pekerjaan kasar. Bahkan banyak pula pengusaha yang datang dari negeri seberang hanya berbekal tekad dan semangat untuk maju. Dengan kecerdasan dan kerja keras yang luar biasa, mereka akhirnya mampu mengembangkan usaha dalam banyak lini. Mereka menguasai industri dari hulu sampai hilir. Lahirlah sebuah kelompok usaha yang disebut konglomerasi.Tahap kedua, cerdik. Ketika usaha mereka sudah menjadi konglomerasi, sementara lingkungan politik dimana mereka hidup sangat otoritarian birokratis, akhirnya mereka memerlukan patron-patron bisnis untuk melindungi dan semakin memperbesar bisnis mereka. Dengan cerdik mereka merangkul kaum birokrat dan militer untuk menjadi patron mereka. Lahirlah apa yang disebut patronase bisnis, dimana penguasa dan pengusaha berkolusi untuk memenangkan tender-tender bisnis. Tahap ketiga, lihai. Oleh pelaku bisnis, kosa kata bernama lihai menjadi sebuah kewajiban yang harus dimiliki. Bisnis sudah sangat besar, patron sudah dimiliki, langkah berikutnya adalah kelihaian untuk mengakali peraturan dan kewajiban. Ramai-ramai mereka merusak alam, menjarah tanah penduduk, mendirikan lembaga keuangan untuk mengeruk uang masyarakat yang kemudian untuk membiayai kelompoknya sendiri, melakukan kartel atau monopoli, mempraktekkan mark-up, menyelewengkan pajak hingga mengeksploitasi buruh. Mereka jelas melanggar peraturan. Namun karena kelihaian mereka plus dukungan para patron, sukseslah mereka dalam mengakali peraturan dan kewajiban.Tahap terakhir, keempat, licik. Dalam pengertian umum, licik diartikan sebagai tindakan cerdas yang sama sekali mengesampingkan moral. Perilaku licik mayoritas pelaku bisnis semakin kentara ketika krisis ekonomi melanda negeri ini. Kapitalisme semu yang dipraktekkan mayoritas konglomerat akhirnya harus dibayar mahal. Banyak perusahaan kolaps dan harus mati lantaran tidak kuat menanggung hutang dalam bentuk dolar. Turunlah dewa penyelamat - dalam hal ini pemerintah- untuk menalangi hutang-hutang mereka. Dari kasus ini semakin transparan kelicikan mereka. Tanpa malu mereka - dengan dibantu oknum birokrat- melakukan manuver-manuver baru untuk tetap mendapatkan perusahaan mereka kembali yang nota bene sudah milik pemerintah. Atau mereka sengaja membangkrutkan diri dengan alasan tidak mempunyai kapital segar. Padahal mereka melakukan investasi baru di negara-negara tetangga. Empat tahap perilaku mayoritas pelaku bisnis seperti disebutkan diatas memang akan menyisakan perdebatan baru. Apalagi belum ada sebuah kajian yang komprehensif meneliti perilaku para pelaku bisnis di tanah air. Namun mencermati realitas di lapangan, empat tahap perilaku pelaku bisnis mendekati kebenaran. Cerdas, cerdik, lihai dan licik menjadi jurus pelaku bisnis untuk mengembangkan dan kemudian menyelamatkan bisnisnya.

Minggu, 26 Oktober 2008

Adakah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan?

ADAKAH TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN?

“Hanya ada satu cara menghabiskan keuntungan besar – katakanlah bahwa pemilik dari waktu ke waktu selama hidupnya – menggunakannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.”Andrew Carnegie : The Gospel of Wealth and Other Timely Essays, 1862Dari mana perusahaan memulai tanggung jawab sosialnya? Sebuah pertanyaan pendek namun memiliki jawaban melingkar-lingkar berbuntut panjang. Pendekatan jawabannya pun tidak melulu pada disiplin bisnis semata, namun melebar merangkul wilayah ekonomi, sosial, budaya, bahkan politik. Tanggung jawab sosial perusahaan alhasil menjadi tanggung jawab hampir semua pihak yang peduli terhadap sepak terjang lembaga bisnis.Berkaca pada sejarah, akhirnya pertanyaan dengan jawaban melingkar-lingkar tersebut dapat dimampatkan pada satu kesimpulan sederhana: dimulai dari sang pemilik (pendiri). Beberapa contoh dapat dibeberkan, seperti Andrew Carnegie dan keluarga Mellon mendirikan Universitas Carnegie-Mellon. James B Duke dengan Universitas Duke dan Akademi Davidson. Disusul Stanford yang melahirkan Universitas Stanford. Keluarga Johnson sebagai penyumbang terbesar Universitas Cornell. Tentu tak ketinggalan Rockefeller sebagai penyandang dana Universitas Chicago dan Columbia. Belum lagi keluarga Ford yang memberi ribuan bea siswa bagi para cerdik pandai di seluruh bumi ini.Itu baru dari sisi pendidikan. Belum lagi dari bidang kesehatan, kebudayaan, sosial maupun bentuk-bentuk filantropi lainnya. Para manusia mega platinum seperti Bill Gates, George Soros, Warren Buffet hingga keluarga Walton, sekarang menjadi filantropis terbesar di muka bumi ini. Bahkan Bill Gates dan istrinya Laura Gates diganjar sebagai manusia tahun ini (person of the year) versi majalah Time karena telah menggelontorkan jutaan dolar US untuk proyek-proyek kemanusiaan.Contoh-contoh ini dapat menjelaskan bagaimana tanggung jawab sosial perusahaan dengan mudah dipraktikkan manakala sang pemilik (pendiri) mempunyai visi besar yang menggetarkan dan nilai-nilai keutamaan bagi kesejahteraan umat manusia. Terlepas dari kontroversi sang maha pengusaha tersebut – seperti sosok Rockefeller yang disebut sebagai baron perampok terbesar di masanya atau sosok Soros yang dicap sebagai penghancur ekonomi banyak negara – tampak bahwa visi dan nilai mereka akan mewarnai perusahaannya dalam berkiprah dalam masyarakat.Persoalan adalah tidak semua pemilik (pendiri) perusahaan mempunyai visi dan nilai-nilai kemanusiaan nan tinggi. Mayoritas pengusaha tetap berkiblat pada tesis Milton Friedman yaitu, ”Satu-satunya tanggung jawab perusahaan adalah untuk meningkatkan laba.” Pandangan tersebut diperkuat oleh Matthew Bishop editor The Economist,”Peran perusahaan adalah menjalankan bisnis yang baik, bukannya menyelamatkan dunia.” Tesis ini dijalankan dengan sempurna. Alhasil yang terjadi adalah pengguritaan bisnis yang melahap apapun juga sekedar untuk memperoleh keuntungan. Bisnis tak ubahnya mesin uang yang hanya mengenal tiga hal; produksi, keuntungan dan ekspansi. Nilai keutamaannya adalah hasil, bukan proses. Kaidah manajemen, yaitu efektivitas, efisiensi dan hasil berjalan dengan ketat. Sementara kaidah kepemimpinan yang bersinggungan dengan pemberdayaan, penyelarasan dan tanggung jawab sosial terpinggirkan.Pada sisi lain, banyak perusahaan sudah tidak memiliki pemegang saham mayoritas. Alias sahamnya dimiliki banyak orang ataupun lembaga. Bagaimana tanggung jawab sosial perusahaan harus ditumbuhkan pada kondisi perusahaan demikian ini?Tanggung jawab sosial perusahaan pada dasarnya adalah salah satu perwujudan dari tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG). Tanggung jawab sosial perusahaan tidak sekedar filantrofi ataupun karitatif dari perusahaan bagi masyarakat sekitar. Tindakan filantrofi dan karitatif idealnya sudah menjadi keharusan bagi perusahaan seperti juga keharusan untuk membayar karyawannya secara wajar dan membayar pajak dengan benar. Dalam bahasa manajemen, tanggung jawab sosial perusahaan merupakan salah satu kompetensi perusahaan seperti halnya kompetensi pemasaran, operasional, human capital dan keuangan. Kompetensi berhubungan dengan kecakapan dalam menjalankan operasional bisnis untuk memperoleh kinerja yang optimal. Agar kompetensi optimal maka harus dibuat aturan standar yang mana aturan tersebut selaras dengan strategi perusahaan secara keseluruhan. Aturan ini lazim disebut code of conduct. Code of conduct ini yang kemudian menjadi ‘kitab suci’ bagi organisasi dan individu yang bekerja pada organisasi tersebut. Salah satu butir dari code of conduct ini tak lain tanggung jawab sosial perusahaan. Dengan demikian perusahaan bersama seluruh manusia pekerjanya wajib melakukan tindakan sosial bagi perwujudan tanggung jawabnya. Contoh paling bagus adalah IBM yang memberi hari kerja bagi seluruh karyawan untuk beraktivitas sosial dengan tetap digaji tanpa dipotong hak cutinya.Tak kalah penting untuk membentuk perusahaan yang bertanggung jawab sosial adalah transparan dalam pengelolaan, baik itu transparan dalam produksi, pemasaran, penggunaan SDM dan keuangan. Transparan ini sebenarnya kata kunci dari konsep tata kelola perusahaan yang baik (GCG). Ketika perusahaan transparan dalam pengelolaan perusahaan tersebut mudah menjalankan prinsip GCG lainnya yaitu tanggung jawab, akuntabilitas dan keadilan. Terakhir, yaitu sikap profesional. Bisnis yang ditangani secara profesional dapat diukur dari kecakapan, keahlian dan kejujuran (integritas) dari seluruh warga organisasi perusahaan. Awal mula sikap profesional tentu dimulai dari para pemilik atau CEO-nya. Perusahaan lokal yang diakui kiprahnya bertanggung jawab sosial seperti Astra Internasional ditunjukkan oleh William Soerjajadja, T.P. Rachmat, Budhi Setiadharma dan sekarang Michael Ruslim. Konimex Group melalui Djoenedi Joesoep, Kompas-Gramedia dengan Jakob Oetama, Austindo melalui keluarga Tahija, Sido Muncul lewat sosok Irwan Hidayat dan Garuda Food dengan Sudhamek Agung. Warga organisasi perusahaan ini akhirnya mengikuti kiprah pemilik (CEO) nya untuk selalu profesional dalam bekerja.Tiga keutamaan ini – code of conduct, transparansi dan profesional – disamping tentu saja visi besar dan nilai-nilai keutamaan yang dianut pemilik (pendiri) adalah inti dari tanggung jawab sosial perusahaan. Alhasil perbincangan tentang tanggung jawab sosial perusahaan yang hanya menarik didiskusikan namun tergopoh-gopoh dalam pelaksanaan menemukan rohnya pada tiga keutamaan bisnis ini. Tanggung jawab sosial perusahaan tidak lagi bermain dalam dataran teori, namun sudah menukik pada dataran praktik. Dengan demikian gugatan sebuah pertanyaan “Adakah tanggung jawab sosial perusahaan?” menemukan jawabannya: Ada!”Yang dicapai kaum kapitalis bukan hanya memberikan lebih banyak kain sutera kepada ratu tapi membuat gadis pabrik mampu membeli kaus kaki sutera dengan harga murah.”J. Schumpeter : Capitalism, Socialism, and Democracy, 1942

Kamis, 23 Oktober 2008

Tanggung Jawab Spiritual dan Sukses Bisnis

http://web.bisnis.com/kolom/2id1595.html

Berikut tulisan saya yang bisa di klik di http://www.bisnis.com/ . Tulisan saya dapat anda nikmati di edisi cetak Bisnis Indonesia edisi Minggu dalam kolom SPRITUAL LEADERSHIP.

Jumat, 10/10/2008 11:19 WIB
Tanggung jawab spiritual dan sukses bisnis
oleh : A. M. Lilik AgungMitra Pengelola High Leap Consulting, praktisi bisnis

Sosok bernama Julius Tahija telah menjadi manusia paripurna. Sebagai warga negara, Julius Tahija menunjukkan dedikasi luar biasa melalui karir militernya dengan terjun langsung dalam perang merebut kemerdekaan, dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel.
Sebagai profesional bisnis, karirnya melesat jauh menembus labirin-labirin yang kelihatannya tak mungkin dikoyak dijamannya. Dia orang pribumi pertama yang memimpin langsung Caltex Pasific Indonesia.
Sebagai pengusaha, Julius mampu membiakkan bisnisnya menjadi raksasa yang disegani. Walaupun bisnisnya bukan terbesar dibidangnya, namun selalu dijadikan model tentang bagaimana menjalankan bisnis dengan benar dan berbasis pada aturan-aturan.
Tidak banyak orang tahu Austindo Group. Di bawah payung Austindo bercokol banyak perusahaan dengan empat lini usaha, yaitu jasa finansial, minyak sawit, rumah sakit, dan lainnya. Usaha dalam lini lainnya di antaranya geotermal, tobacco, power, dan resources.
Inilah kerajaan bisnis yang dibangun oleh Julius Tahija dan sekarang dipegang oleh dua orang anaknya. Di luar Austindo Group, Julius Tahija adalah pemilik Bank Niaga sebelum bank ini kena dampak krisis ekonomi 1998.
Menarik ketika pada saat bersamaan di tahun 70-an Julius membangun bisnis sendiri dan tenaganya masih diperlukan di Caltex dan Freeport. Dengan cakupan bisnis pada berbagai sektor strategis, sebenarnya pantas bila group bisnis yang dimiliki Julius Tahija melakukan kerjasama dengan Caltex dan Freeport.
Di samping bisnis pribadi Julius Tahija dijalankan dengan sangat profesional, kekuasaan jabatannya di Caltex dan Freeport memungkinkan berkongsi. Namun tindakan Tahija sudah jauh melampaui jamannya. Setiap perusahaan milik Tahija diberi instruksi keras baik lisan maupun tertulis untuk tidak mengadakan transaksi dengan Caltex atau Freeport selagi Tahija menjadi eksekutif di sana.
Prinsip bisnis
Ada beberapa prinsip bisnis yang dipegang teguh oleh Julius Tahija, baik ketika menjadi profesional ataupun menjalankan bisnis pribadi. Prinsip bisnis ini merupakan pengembangan dari etika bisnis China.
Tiga yang utama dan sangat relevan untuk kondisi kekinian bisnis di tanah air adalah, pertama, lunasi seluruh utang tepat pada waktunya. Inti dari prinsip ini sebenarnya sederhana; kepercayaan. Dalam berbisnis ketepatan membayar utang merupakan jaminan kepercayaan. Jika tertib dalam melunasi utang, dapat dikatakan perilaku pebisnis ini juga tertib dalam melayani pelanggan, tertib dalam memproduksi barang yang tidak membahayakan, tertib untuk membayar pajak dan ujungnya tertib untuk menjaga kepercayaan.
Kedua, untuk menjalin hubungan kerja yang diperlukan hanya jabat tangan. Kata-kata merupakan satu-satunya sumber kepercayaan yang harus dipegang. Kontrak bisnis memang perlu. Namun tetap di atas kontrak bisnis adalah kata-kata. Banyaknya kasus bisnis di negeri ini sebagian besar karena melanggar kata-kata yang disepakati. Tumpukan kontrak bisnis dengan menyewa pengacara alhasil hanya memperpanjang masalah yang justru menurunkan produktivitas bisnis.
Ketiga, yang boleh dibelanjakan hanyalah uang yang benar-benar sudah sah sebagai hasil keringat. Dari pengertian ini menurut Tahija uang hasil korupsi, pat gulipat, kongsi hitam dan suap jelas tidak layak untuk mengembangkan bisnis. Ataupun jika dipergunakan untuk berbisnis dipastikan bisnis demikian hanya berjangka waktu pendek dengan orientasi sesaat dan untuk tujuan hitam.
Dalam pengertian umum ada tiga peran dari seorang pemimpin, yaitu manajerial, etikal dan spiritual (Jansen Sinamo, 2004). Peran manajerial merupakan peran yang harus dilakonkan pemimpin untuk mengelola bisnisnya sesuai dengan kaidah manajemen kontemporer.
Dalam peran ini mengelola proses bisnis dari mulai perencanaan, eksekusi hingga evaluasi menjadi tanggung jawab pemimpin. Pendekatan keuangan, pemasaran, operasional, sumber daya manusia dan teknologi benar-benar harus dijalankan pemimpin.
Dalam peran manajerial, kepemimpinan Julius Tahija layak diacungi jempol. Bank Niaga bisa menjadi contoh kasus. Inilah bank pertama di negeri ini yang menjalankan prinsip pengelolaan perbankan dengan pendekatan modern.
Tidak tanggung-tanggung, yang dijadikan mitra untuk menjalankan operasional bisnis adalah Citibank. Tka tidak mengherankan bila dari rahim Bank Niaga lahir bankir-bankir profesional yang mempengaruhi hitam putihnya dunia perbankan di tanah air, seperti sosok Robby Djohan, Agus Martowardoyo, Peter B Stok, Winny Hasan, dan Arwin Rasyid.
Peran etikal berbeda dengan peran manajerial. Peran ini lebih pada cara pengamalan nilai-nilai etis berbisnis. Atau jika menggunakan bahasa bisnis kontemporer, peran etikal adalah peran pemimpin dalam menterjemahkan budaya perusahaan ke dalam perilaku seluruh warga organisasi.
Budaya Austindo Group yang dikembangkan bersumber pada prinsip bisnis yang diyakini oleh Julius Tahija. Kompetensi inti organisasi ataupun seluruh karyawan Austindo Group harus bermuara pada prinsip bisnis tersebut.
i sinilah evaluasi paling sempurna seorang pemimpin layak disebut menjalankan peran etikalnya. Walaupun sudah meninggal dan roda bisnis sudah berganti ke generasi kedua, kita tidak pernah mendengar Austindo Group berurusan dengan aparat penegak hukum karena, katakanlah melakukan suap atau ngemplang utang.
Peran spiritual menukik pada pemaknaan berbisnis. Dalam peran ini idiom bernama damai, cinta, kasih, pelayanan, dan ibadah menjadi ekspresi pemimpin untuk menjalankan bisnisnya sekaligus memperlakukan karyawannya.
Oleh Julius Tahija peran spiritual tidak berhenti pada kata-kata semata. Pribadi Julius Tahija yang sangat disegani, baik di dalam maupun luar negeri membuktikan bagaimana peran spiritual dijalankan tanpa retorika. Alangkah indahnya negeri ini bila para pemimpin (bisnis, lebih lagi politik) mengikuti jejak kepemimpinan Julius Tahija.