Selasa, 01 Januari 2008

Membaca Kaum Muda

Kompas Sabtu, 29 Desember 2007
Membaca Kaum Muda
Oleh: AM Lilik Agung

Dari sebuah gang di Jalan Kaliurang, Yogyakarta. Sebuah patung manusia
dengan wajah penguasa otoriter negeri ini dinaikkan ke atas becak dan
diarak menuju tempat demonstrasi. Halaman depan Balairung Universitas
Gadjah Mada semakin riuh atas kehadiran patung berwajah penguasa
otoriter tersebut.

Peristiwa itu pantas dicatat dalam sejarah penumbangan rezim otoriter
Orde Baru. Patung tersebut dibakar habis para demonstran. Inilah api
yang menyulut demonstrasi akbar para mahasiswa di hampir seluruh
pelosok Tanah Air.

Benar bila Indra Jaya Piliang menyebut bahwa gerakan mahasiswa 1998
bukan produk mahasiswa Jakarta, melainkan disampaikan secara
bergelombang dari sejumlah mahasiswa yang terluka dan terbunuh di
Medan, Lampung, Makassar, dan Yogyakarta. (Kompas, 15/12/2007). Ketika
para mahasiswa di Jakarta masih disibukkan dengan mengejar IPK dan
jalan-jalan di mal, mahasiswa daerah lain (terutama Yogyakarta dan
Bandung) harus menghadapi pentungan, gamparan, darah, penjara,
penculikan, hingga kematian untuk demokrasi.

Namun, ketika Indra Piliang menyebut bahwa kaum muda Jakarta hanyalah
kepala tanpa kaki tangan, buntung secara so- sial, tunasosial, dan
tanpa keringat, pernyataan ini jadi cacat yang layak untuk di- gugat.
Benar bahwa ada kaum muda Jakar- ta seperti apa yang disebut Indra.
Namun, banyak kaum muda Jakarta yang utuh secara sosial dan bergelut
dengan keringat untuk menegakkan keadilan sosial.

Sebagai contoh kasus yang dilakukan kaum muda profesional Jakarta
(baca: pelaku bisnis). Ketika terjadi bencana di mana pun di negeri
ini, kaum muda profesional Jakarta menjadi orang yang paling awal
mendatangi korban bencana tersebut. Walaupun semua kegiatan tersebut
bersifat karitatif, menandakan di tengah keterjepitan waktu mengejar
target pekerjaan, para profesional muda Jakarta melek secara sosial.
Hanya saja, aktivitas ini jauh dari publikasi media massa ataupun
perbincangan politik karena mereka memang tidak ingin ditampilkan ke
media massa seperti layaknya tokoh politik.

Bebas primordialisme
Pascagerakan mahasiswa 1998, tak bisa dielakkan mayoritas pelaku
gerakan berlarian menyerbu Jakarta. Sebagian bergiat pada ranah
politik praktis. Sebagian lagi bergiat di wilayah lembaga swadaya
masyarakat, media massa, ataupun kampus. Tak sedikit yang menjadi
profesional perusahaan atau menjalankan usaha sendiri.

Benar seperti apa yang ditulis Mohamad Sobary bahwa dibandingkan
dengan tokoh-tokoh bisnis, media, keilmuan, dan LSM, tokoh politik
kaum muda jauh tertinggal. Kualitas tokoh politik kita (kaum muda)
hanya setingkat dengan stereotip yang kita lekatkan kepada pegawai
negeri: seadanya, kurang kreatif, ogah berinisiatif, dan gigih menjaga
"tradisi" tak bertanggung jawab (Kompas, 2/12/2007).

Mengharap kaum muda memimpin negeri ini jelas tidak bisa diharapkan
hanya dari kaum muda yang sekarang bergiat di ranah politik.
Kolaborasi menjadi tidak terelakkan antara tokoh politik dan tokoh
bisnis, tokoh media, tokoh keilmuan, dan tokoh LSM. Mengoptimalkan
tokoh bisnis muda untuk ikut memimpin menjadi sebuah keharusan.

Ada banyak keunggulan tokoh bisnis muda dibandingkan dengan
tokoh-tokoh muda lainnya. Dari segi pendidikan, mereka sangat terdidik
dan bahkan banyak lulusan universitas terbaik di luar negeri. Dari
sudut ekonomi, mereka golongan masyarakat strata A yang tidak lagi
takjub untuk bepergian ke luar negeri ataupun rapat di hotel
berbintang. Dari sisi manajemen, mereka sudah bergaul intim dengan apa
yang disebut cara mengelola organisasi secara efektif dan efisien.
Lebih dari itu mereka relatif terbebas dari wawasan sempit
primordialisme lantaran lingkup kerja dan pergaulan mereka sudah
global. Hanya dua hal yang perlu dipoles dari mereka: kecakapan
berpolitik dan kecerdasan menggerakkan massa.

Kapitalisme
Pepatah bijak Sun Tzu mengatakan bunuhlah ular dengan rumputnya.
Pepatah ini pantas untuk menengahi opini Sukardi Rinakit (Kompas,
4/12/2007) dalam menjawab opini Sonny Mumbunan menyoal kereta baru
milik kaum muda, yaitu ekonomi pasar sosial (epasos), bisa jadi bakal
mogok karena bahan bakarnya keliru pada aras konsep (Kompas,
21/11/2007).

Kaum muda era sekarang dibesarkan dalam sebuah tatanan kapitalisme
global. Mereka melihat, merasakan, dan bergaul dengan kapitalisme.
Ketika tiba-tiba mereka harus membendung dengan kereta bernama epasos
jelas akan terengah-engah kehabisan napas. Cara paling cerdas,
"meniduri" kapitalisme tersebut dengan aktif di dalamnya.

Pada dasarnya kapitalisme bersifat netral. Ia bisa digerakkan individu
ataupun negara. Bahkan pada era ketika privatisasi BUMN sedang gencar
dilakukan di negeri ini, justru di negeri tetangga BUMN mereka
ramai-ramai mengakuisisi perusahaan swasta. Sebutlah contoh Temasek
(Singapura), Petronas (Malaysia), atau yang paling fenomenal, yaitu
Dubai Corporation (Uni Emirat Arab). Tiga raksasa besar BUMN ini yang
bisnisnya menggurita dan "lebih" kapitalis dibandingkan dengan
perusahaan multinasional seperti yang selama ini dipahami.

Lebih dari itu, kapitalisme bisa menjadi malaikat penyelamat apabila
berada di tangan orang-orang bijak. Bisa disimpulkan gerakan
filantropis global dengan penyandang dana nyaris tak terbatas berasal
dari perusahaan multinasional ataupun perorangan yang sejauh ini dicap
sebagai kapitalis buas. Bill Gates merupakan orang yang paling banyak
mengucurkan dana untuk kegiatan filantropis. Di bawahnya ada Warren
Buffet, Mike Bloomberg, dan George Soros yang jelas seorang kapitalis
murni.

Pada sisi lain, para penganjur ekonomi jalan tengah, epasos, ekonomi
kerakyatan, atau apapun namanya di negeri ini justru pendidikannya
banyak dibiayai oleh perusahaan kapitalis, semisal Toyota Foundation,
Ford Fondation, Rockefeller Foundation, hingga perusahaan lokal Astra
Foundation dan Sampoerna Foundation. Ada dikotomi di sini. Pada satu
sisi mereka menentang kapitalisme, tetapi di sisi lain mereka dibiayai
kapitalisme.

Prinsip paling bijak ketika kaum muda memulai memimpin, mereka
berkawan dengan kapitalisme. Jangan ketika kaki kanan bernama politik
masih rapuh harus mengamputasi kaki kiri ekonomi dengan melawan
kapitalisme. Sementara itu, konsep ekonominya sendiri masih
diperdebatkan. Roda ekonomi sebuah negara bukan sebuah konsep, tetapi
tindakan.

AM Lilik Agung Mitra Pengelola High Leap Consulting, Praktisi Bisnis

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda