Senin, 27 Oktober 2008

Management By Humanity

MANAGEMENT BY HUMANITY

Bagaimana perilaku pelaku bisnis di tanah air? Pertanyaan pendek ini lumayan sulit untuk dijawab. Apabila muncul, jawabannya tidak akan sependek pertanyaan tersebut. Bahkan jawaban itu akan melingkar-lingkar tanpa ujung pangkal yang berakhir pada ketidakjelasan. Mengamati perilaku pelaku bisnis di tanah air memang sebangun dengan mencermati perilaku pemain politik di negeri tercinta. Nyaris tidak terpetakan lantaran cepat berubahnya perilaku mereka mengikuti arah angin yang menguntungkan.
Walaupun nyaris tidak terpetakan, perilaku mayoritas (jadi tidak semua) pelaku bisnis di negeri ini dapat digradasikan ke dalam empat tahap. Tahap pertama, cerdas. Perilaku cerdas bisa dibuktikan dengan produktivitas mereka. Pengusaha di Indonesia nyaris berasal dari kalangan kebanyakan, lantaran kaum bangsawan mengaggap berdagang itu pekerjaan kasar. Bahkan banyak pula pengusaha yang datang dari negeri seberang hanya berbekal tekad dan semangat untuk maju. Dengan kecerdasan dan kerja keras yang luar biasa, mereka akhirnya mampu mengembangkan usaha dalam banyak lini. Mereka menguasai industri dari hulu sampai hilir. Lahirlah sebuah kelompok usaha yang disebut konglomerasi.Tahap kedua, cerdik. Ketika usaha mereka sudah menjadi konglomerasi, sementara lingkungan politik dimana mereka hidup sangat otoritarian birokratis, akhirnya mereka memerlukan patron-patron bisnis untuk melindungi dan semakin memperbesar bisnis mereka. Dengan cerdik mereka merangkul kaum birokrat dan militer untuk menjadi patron mereka. Lahirlah apa yang disebut patronase bisnis, dimana penguasa dan pengusaha berkolusi untuk memenangkan tender-tender bisnis. Tahap ketiga, lihai. Oleh pelaku bisnis, kosa kata bernama lihai menjadi sebuah kewajiban yang harus dimiliki. Bisnis sudah sangat besar, patron sudah dimiliki, langkah berikutnya adalah kelihaian untuk mengakali peraturan dan kewajiban. Ramai-ramai mereka merusak alam, menjarah tanah penduduk, mendirikan lembaga keuangan untuk mengeruk uang masyarakat yang kemudian untuk membiayai kelompoknya sendiri, melakukan kartel atau monopoli, mempraktekkan mark-up, menyelewengkan pajak hingga mengeksploitasi buruh. Mereka jelas melanggar peraturan. Namun karena kelihaian mereka plus dukungan para patron, sukseslah mereka dalam mengakali peraturan dan kewajiban.Tahap terakhir, keempat, licik. Dalam pengertian umum, licik diartikan sebagai tindakan cerdas yang sama sekali mengesampingkan moral. Perilaku licik mayoritas pelaku bisnis semakin kentara ketika krisis ekonomi melanda negeri ini. Kapitalisme semu yang dipraktekkan mayoritas konglomerat akhirnya harus dibayar mahal. Banyak perusahaan kolaps dan harus mati lantaran tidak kuat menanggung hutang dalam bentuk dolar. Turunlah dewa penyelamat - dalam hal ini pemerintah- untuk menalangi hutang-hutang mereka. Dari kasus ini semakin transparan kelicikan mereka. Tanpa malu mereka - dengan dibantu oknum birokrat- melakukan manuver-manuver baru untuk tetap mendapatkan perusahaan mereka kembali yang nota bene sudah milik pemerintah. Atau mereka sengaja membangkrutkan diri dengan alasan tidak mempunyai kapital segar. Padahal mereka melakukan investasi baru di negara-negara tetangga. Empat tahap perilaku mayoritas pelaku bisnis seperti disebutkan diatas memang akan menyisakan perdebatan baru. Apalagi belum ada sebuah kajian yang komprehensif meneliti perilaku para pelaku bisnis di tanah air. Namun mencermati realitas di lapangan, empat tahap perilaku pelaku bisnis mendekati kebenaran. Cerdas, cerdik, lihai dan licik menjadi jurus pelaku bisnis untuk mengembangkan dan kemudian menyelamatkan bisnisnya.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda