Minggu, 26 Oktober 2008

Adakah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan?

ADAKAH TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN?

“Hanya ada satu cara menghabiskan keuntungan besar – katakanlah bahwa pemilik dari waktu ke waktu selama hidupnya – menggunakannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.”Andrew Carnegie : The Gospel of Wealth and Other Timely Essays, 1862Dari mana perusahaan memulai tanggung jawab sosialnya? Sebuah pertanyaan pendek namun memiliki jawaban melingkar-lingkar berbuntut panjang. Pendekatan jawabannya pun tidak melulu pada disiplin bisnis semata, namun melebar merangkul wilayah ekonomi, sosial, budaya, bahkan politik. Tanggung jawab sosial perusahaan alhasil menjadi tanggung jawab hampir semua pihak yang peduli terhadap sepak terjang lembaga bisnis.Berkaca pada sejarah, akhirnya pertanyaan dengan jawaban melingkar-lingkar tersebut dapat dimampatkan pada satu kesimpulan sederhana: dimulai dari sang pemilik (pendiri). Beberapa contoh dapat dibeberkan, seperti Andrew Carnegie dan keluarga Mellon mendirikan Universitas Carnegie-Mellon. James B Duke dengan Universitas Duke dan Akademi Davidson. Disusul Stanford yang melahirkan Universitas Stanford. Keluarga Johnson sebagai penyumbang terbesar Universitas Cornell. Tentu tak ketinggalan Rockefeller sebagai penyandang dana Universitas Chicago dan Columbia. Belum lagi keluarga Ford yang memberi ribuan bea siswa bagi para cerdik pandai di seluruh bumi ini.Itu baru dari sisi pendidikan. Belum lagi dari bidang kesehatan, kebudayaan, sosial maupun bentuk-bentuk filantropi lainnya. Para manusia mega platinum seperti Bill Gates, George Soros, Warren Buffet hingga keluarga Walton, sekarang menjadi filantropis terbesar di muka bumi ini. Bahkan Bill Gates dan istrinya Laura Gates diganjar sebagai manusia tahun ini (person of the year) versi majalah Time karena telah menggelontorkan jutaan dolar US untuk proyek-proyek kemanusiaan.Contoh-contoh ini dapat menjelaskan bagaimana tanggung jawab sosial perusahaan dengan mudah dipraktikkan manakala sang pemilik (pendiri) mempunyai visi besar yang menggetarkan dan nilai-nilai keutamaan bagi kesejahteraan umat manusia. Terlepas dari kontroversi sang maha pengusaha tersebut – seperti sosok Rockefeller yang disebut sebagai baron perampok terbesar di masanya atau sosok Soros yang dicap sebagai penghancur ekonomi banyak negara – tampak bahwa visi dan nilai mereka akan mewarnai perusahaannya dalam berkiprah dalam masyarakat.Persoalan adalah tidak semua pemilik (pendiri) perusahaan mempunyai visi dan nilai-nilai kemanusiaan nan tinggi. Mayoritas pengusaha tetap berkiblat pada tesis Milton Friedman yaitu, ”Satu-satunya tanggung jawab perusahaan adalah untuk meningkatkan laba.” Pandangan tersebut diperkuat oleh Matthew Bishop editor The Economist,”Peran perusahaan adalah menjalankan bisnis yang baik, bukannya menyelamatkan dunia.” Tesis ini dijalankan dengan sempurna. Alhasil yang terjadi adalah pengguritaan bisnis yang melahap apapun juga sekedar untuk memperoleh keuntungan. Bisnis tak ubahnya mesin uang yang hanya mengenal tiga hal; produksi, keuntungan dan ekspansi. Nilai keutamaannya adalah hasil, bukan proses. Kaidah manajemen, yaitu efektivitas, efisiensi dan hasil berjalan dengan ketat. Sementara kaidah kepemimpinan yang bersinggungan dengan pemberdayaan, penyelarasan dan tanggung jawab sosial terpinggirkan.Pada sisi lain, banyak perusahaan sudah tidak memiliki pemegang saham mayoritas. Alias sahamnya dimiliki banyak orang ataupun lembaga. Bagaimana tanggung jawab sosial perusahaan harus ditumbuhkan pada kondisi perusahaan demikian ini?Tanggung jawab sosial perusahaan pada dasarnya adalah salah satu perwujudan dari tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG). Tanggung jawab sosial perusahaan tidak sekedar filantrofi ataupun karitatif dari perusahaan bagi masyarakat sekitar. Tindakan filantrofi dan karitatif idealnya sudah menjadi keharusan bagi perusahaan seperti juga keharusan untuk membayar karyawannya secara wajar dan membayar pajak dengan benar. Dalam bahasa manajemen, tanggung jawab sosial perusahaan merupakan salah satu kompetensi perusahaan seperti halnya kompetensi pemasaran, operasional, human capital dan keuangan. Kompetensi berhubungan dengan kecakapan dalam menjalankan operasional bisnis untuk memperoleh kinerja yang optimal. Agar kompetensi optimal maka harus dibuat aturan standar yang mana aturan tersebut selaras dengan strategi perusahaan secara keseluruhan. Aturan ini lazim disebut code of conduct. Code of conduct ini yang kemudian menjadi ‘kitab suci’ bagi organisasi dan individu yang bekerja pada organisasi tersebut. Salah satu butir dari code of conduct ini tak lain tanggung jawab sosial perusahaan. Dengan demikian perusahaan bersama seluruh manusia pekerjanya wajib melakukan tindakan sosial bagi perwujudan tanggung jawabnya. Contoh paling bagus adalah IBM yang memberi hari kerja bagi seluruh karyawan untuk beraktivitas sosial dengan tetap digaji tanpa dipotong hak cutinya.Tak kalah penting untuk membentuk perusahaan yang bertanggung jawab sosial adalah transparan dalam pengelolaan, baik itu transparan dalam produksi, pemasaran, penggunaan SDM dan keuangan. Transparan ini sebenarnya kata kunci dari konsep tata kelola perusahaan yang baik (GCG). Ketika perusahaan transparan dalam pengelolaan perusahaan tersebut mudah menjalankan prinsip GCG lainnya yaitu tanggung jawab, akuntabilitas dan keadilan. Terakhir, yaitu sikap profesional. Bisnis yang ditangani secara profesional dapat diukur dari kecakapan, keahlian dan kejujuran (integritas) dari seluruh warga organisasi perusahaan. Awal mula sikap profesional tentu dimulai dari para pemilik atau CEO-nya. Perusahaan lokal yang diakui kiprahnya bertanggung jawab sosial seperti Astra Internasional ditunjukkan oleh William Soerjajadja, T.P. Rachmat, Budhi Setiadharma dan sekarang Michael Ruslim. Konimex Group melalui Djoenedi Joesoep, Kompas-Gramedia dengan Jakob Oetama, Austindo melalui keluarga Tahija, Sido Muncul lewat sosok Irwan Hidayat dan Garuda Food dengan Sudhamek Agung. Warga organisasi perusahaan ini akhirnya mengikuti kiprah pemilik (CEO) nya untuk selalu profesional dalam bekerja.Tiga keutamaan ini – code of conduct, transparansi dan profesional – disamping tentu saja visi besar dan nilai-nilai keutamaan yang dianut pemilik (pendiri) adalah inti dari tanggung jawab sosial perusahaan. Alhasil perbincangan tentang tanggung jawab sosial perusahaan yang hanya menarik didiskusikan namun tergopoh-gopoh dalam pelaksanaan menemukan rohnya pada tiga keutamaan bisnis ini. Tanggung jawab sosial perusahaan tidak lagi bermain dalam dataran teori, namun sudah menukik pada dataran praktik. Dengan demikian gugatan sebuah pertanyaan “Adakah tanggung jawab sosial perusahaan?” menemukan jawabannya: Ada!”Yang dicapai kaum kapitalis bukan hanya memberikan lebih banyak kain sutera kepada ratu tapi membuat gadis pabrik mampu membeli kaus kaki sutera dengan harga murah.”J. Schumpeter : Capitalism, Socialism, and Democracy, 1942

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda