Minggu, 02 November 2008

Samudera Kebajikan Soedarpo


Sosok pemimpin bisnis yang pantas disebut menjalankan prinsip-prinsip spiritual dalam menjalankan bisnis adalah saat sang pemimpin mangkat ke nirwana. Bagaimana masyarakat luas mengapresiasi, bagaimana para anak buah memberi penghormatan dan bagaimana para pemangku kepentingan memberi komentar adalah bukti kepemimpinan spiritualnya. Hal demikian terdapat dalam diri Soedarpo Sastrosatomo. Pendiri Samudera Indonesia Group yang berjejuluk ’raja kapal Indonesia’ telah mangkat pada 22 Oktober 2007. Seperti kita saksikan, hampir semua media massa mengabarkan dengan takzim meninggalnya sang tokoh yang sedikit banyak memberi warna pada republik ini.
Ditangan Soedarpo pertumbuhan Samudera Indonesia Group yang berdiri sejak 1964 layak disebut spektakuler. Sampai hari ini Samudera Indonesia Group bergerak dalam tiga lini utama bisnis, yaitu shipping, logistic dan agency (terminal). Jelajah bisnis Samudera Indonesia Group seluas samudera raya, yaitu memiliki 30 branch offices dan agencies pada pelabuhan-pelabuhan besar di Indonesia. Serta 41 agencies di luar negeri yang merentang dari Kuwait, Saudi Arabia, India, Srilanka, Thailand, Malaysia, Philipina, Hong Kong hingga Shanghai.
Pendapatan usaha Samudera Indonesia Group juga sangat kinclong. Pada tahun 2007 meraup Rp 4,09 trilyun. Laba bersih juga mengalami pertumbuhan signifikan. Tahun 2007 Samudera Indonesia Group meraup laba bersih Rp 135,6 milyar, naik 126% dibanding tahun 2006.

Layak Dipercaya
Dari banyak referensi dan praktik unsur paling utama yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah kepercayaan. Oleh pakar kepemimpinan Stephen P Robbins, hubungan antara kepercayaan dan pemimpin sebagai berikut: “Bagian dari tugas seorang pemimpin adalah selalu bersama-sama dengan orang lain memecahkan masalah. Tetapi pemimpin agar memperoleh akses pengetahuan dan berpikir kreatif untuk memecahkan masalah tersebut tergantung dari berapa banyak orang-orang percaya padanya. Kepercayaan dan layak dipercaya adalah modal utama pemimpin untuk akses kepada pengetahuan dan kerjasama.”
Kepercayaan sendiri membutuhkan prasyarat bernama karakter. Karakter dibangun dari dua hal utama; kejujuran dan tanggung jawab. Kejujuran berbicara tentang moralitas dan etika. Sedang tanggung jawab berhubungan dengan kesanggupan dan kecakapan dalam menjalankan tugas-tugas. Atau dalam bahasa manajemen disebut kompetensi.
Soedarpo mampu menterjemahkan kepercayaan dalam operasional sehari-hari Samudera Indonesia Group. Kejujuran jelas tidak dipertanyakan lantaran selama memimpin Samudera Indonesia Group belum pernah ada kabar Soedarpo katakanlah ngemplang terhadap mitra bisnisnya. Atau memeras karyawan dengan imbalan yang tidak layak. Dari sudut kompetensi, harus diakui dari segelintir anak bangsa yang menguasai seluk beluk bisnis perkapalan beserta produk turunannya, nama Soedarpo tidak boleh ditinggalkan.

Peran Pemimpin
Sebuah buku terbitan tahun 1991 dan sampai sekarang tetap dijadikan ‘kitab suci’ para pemimpin bisnis bertajuk ”Visionary Leadership” besutan Burt Nanus sangat relevan untuk menceritakan gaya kepemimpinan Soedarpo Sastrosatomo. Oleh Burt Nanus, ada empat peran pemimpin yang wajib dijalankan apabila sang pemimpin layak disebut visioner. Empat peran tersebut adalah pelatih, juru bicara, agen perubahan dan penentu arah.
Sebagai pelatih, Soedarpo sudah menjalankan dengan paripurna. Soedarpo mampu melahirkan pemimpin-pemimpin bisnis mumpuni sehingga ketika terjadi peralihan tongkat estafet di Samudera Indonesia Group nyaris tanpa gejolak. Sejak tahun 2000 Soedarpo memilih profesional dalam mengendalikan bisnisnya. Generasi kedua Soedarpo lebih banyak duduk sebagai komisaris atau advisor yang tidak mengurusi operasional harian perusahaan. Sekarang ditangan CEO Randy Effendi yang sejak awal karir memang dikader oleh Soedarpo, bisnis Samudera Indonesia Group menjadi lebih lincah dan agresif.
Jika Burt Nanus memformulakan tugas sebagai pelatih bermain pada lima peran, yaitu: (1) pembentuk tim yang memberdayakan orang-orang (2) menghidupkan visi (tujuan) organisasi (3) mentor dan teladan, (4) membangun kepercayaan, (5) menghargai keberhasilan setiap anggota tim, maka Soedarpo mempraktikkan tanpa catatan.
Peran kedua sebagai juru bicara organisasi. Ketika menjadi juru bicara, sang pemimpin
harus bertindak sebagai negosiator dalam berhubungan dengan pihak-pihak lain serta membangun kerjasama dan membentuk jaringan eksternal. Rentang bisnis Samudera Indonesia Group yang menjelajahi Semenanjung Asia Pasific dan bermitra dengan berbagai perusahaan multinasional sudah membuktikan Soedarpo sebagai juru bicara organisasi yang baik nan cerdas.
Peran ketiga, sebagai agen perubahan. Disamping mendirikan Samudera Indonesia Group, bersama dengan Julius Tahija dan M. Idham, Soedarpo juga terlibat dalam pendirian Bank Niaga. Inilah bank pertama di negeri ini yang menjalankan prinsip-prinsip pengelolaan perbankan dengan pendekatan modern dan mampu melahirkan bankir-bankir profesional. (Bisnis Indonesia Minggu, 11 Oktober 2008). Jika bukan seorang agen perubahan, maka tidak mungkin apabila Bank Niaga yang pada awal mula berdiri merupakan bank terkecil di antara sekitar 65 bank swasta namun sejak tahun 1988 sudah menjadi bank swasta terbesar kedua di negeri ini.
Peran terakhir, keempat sebagai penentu arah. Inti dari penentu arah adalah menetapkan sasaran yang menjadi tujuan organisasi masa depan. Sang pemimpin berkomitmen kepada visi besar organisasi dan bersama dengan seluruh anggota berusaha untuk mewujudkan visi tersebut. Pada tahun 1993 Soedarpo mendirikan perusahaan bernama Samudera Shipping Line di Singapore yang bertujuan melayani pelabuhan diseluruh Asia Pasific. Samudera Shipping Line ini harus mampu berkompetisi dengan perusahaan multinasional lainnya. Sekarang Samudera Shipping Line mengoperasikan 30 container vessels dengan berat angkut antara 7,000 DWT hingga 24,000 DWT. Juga melayani secara komprehensif lebih dari 23.000 containers perusahaan-perusahaan mitranya.
Setahun lalu Soedarpo Sastrosatomo mangkat menuju nirwana. Namun kepemimpinannya tetap akan dikenang tidak saja bagi para karyawan Samudera Indonesia Group. Juga oleh seluruh warga bangsa Indonesia yang pada hari-hari ini sangat langka melihat para pemimpinnya mempraktikkan kepemimpinan spiritual.

Senin, 27 Oktober 2008

Human Capital Sebagai Agen Perubahan


Human Capital Sebagai Agen Perubahan

Palo Alto di bulan Agustus 2001. Daun-daun berguguran dan udara masih menyisakan kesejukan. Pada kantor pusat Xerox Corporation. Seorang perempuan berbicara di depan para stakeholders perusahaan. Mulai dari komisaris, direksi, pemegang saham hingga karyawan biasa. Sang perempuan itu bernama lengkap Anne Marie Dolan Mulcahy. Biasa disebut Anne Mulcahy. Tidak ada yang istimewa pada penampilan perempuan berambut pirang ini. Hanya sapuan lipstik lembut menghias wajahnya. Yang istimewa adalah perempuan berpenampilan tidak istimewa ini pertama kali mengucapkan pidato di hadapan stakeholders Xerox corp sebagai CEO baru. Inilah babak baru sejarah Xerox dipimpin CEO berkelamin perempuan.Anne Mulcahy didaulat menjadi CEO ketika Xerox sedang berdarah-darah. Perusahaan yang dimasa lalu selama puluhan tahun menjadi raja bisnis dokumen ini sedang dililit aneka penyakit nan gawat. Aneka penyakit itu seperti; (1) utang sebesar 17,1 milyar dollar AS, (2) kas dikantong hanya 154 juta dollar AS, (3) saham rontok, dari 64 dollar AS menjadi 4 dollar AS per lembar, (4) kegemukan jumlah karyawan di atas 100 ribu, (5) produk yang kalah bersaing di pasar. Jika disimpulkan, Xerox siap untuk tinggal nama alias bangkrut. Namun disinilah letak istimewanya Anne Mulcahy. Melalui tangan midasnya, Anne mampu melakukan restrukturisasi perusahaan sehingga dalam waktu setahun mampu mendongkrak laba positif pada angka 91 juta dollar AS. Setahun berikutnya, yaitu 2003 Xerox mampu membukukan laba pada angka 360 juta dollar AS. Kemudian 2004 Xerox berkibar keuntungannya menjadi 859 dollar AS. Mengapa Anne mampu melakukan pekerjaan nan luar biasa ini? Sudah ribuan ulasan yang dikupas pada aneka media massa yang ada di planet ini untuk menjawab pertanyaan ini. Namun hanya sedikit yang mengulas tentang latar belakang Anne selama 30 tahun karirnya di Xerox. Padahal perjalanan karir Anne yang berawal dari posisi bawah bernama field sales representative dan berujung pada CEO, dapat menjelaskan mengapa Anne sukses melakukan restrukturisasi Xerox. Ada sepenggal karir Anne pada tahun 1992 – 1995 yang mempengaruhi pemikiran briliannya. Sepenggal karir itu pada posisi Vice President Human Resources (VPHR). Ketika menjadi VPHR, Anne mempunyai tanggung jawab kunci untuk membawa Xerox ke masa depan. Mengapa? Karena melalui divisinya, perusahaan mengharap para karyawan Xerox difasilitasi menjadi karyawan cakap bekerja, cerdas berpikir dan integritas bertindak. Dengan posisinya Anne bertanggung jawab untuk masalah pengembangan dan pelatihan karyawan, sistem karir, strategi SDM, hubungan perburuhan, hingga kompensasi dan benefit. Lebih strategis lagi adalah tugasnya sebagai agen perubahan dan mitra strategis organisasi. Pengalaman ketika menjadi VPHR ini yang menyebabkan Anne Mulcahy sukses membawa biduk perusahaan berselancar di gelombang perubahan. Sebagai agen perubahan Anne telah bertindak paripurna. Anne berhasil membawa perubahan maha dahsyat dari perusahaan yang nyaris bangkrut menjadi perusahaan bersinar. Anne mempraktikkan tiga kompetensi inti dari agen perubahan seperti yang dahulu dilakukannya ketika menjabat VPHR. Tiga kompetensi inti agen perubahan tersebut, pertama, change management skills. Keahlian mengelola perubahan ini ditandai oleh beberapa elemen kunci, yaitu: (a) kapasitas kepemimpinan dan jangkauannya dalam mengemudikan perubahan, (2) kecakapan dalam mengantisipasi kebutuhan bisnis untuk berubah, dan (3) kemampuan menggerakkan orang-orang untuk menghadapi perubahan. Tampak bahwa kepemimpinan Anne Mulcahy piawai dalam mengelola perubahan. Pesaingnya di pasar begitu digdaya untuk dilawan. Untuk industri mesin fotokopi bercocol kuat Sharp, Canon dan Ricoh. Sedang di printer ada raksasa Hewlett Packard dan Canon. Namun dengan campuran intuisi, pengalaman dan kecerdasan Anne Mulcahy mampu mengatasi itu semua. Beberapa elemen kunci mengelola perubahan itu dijalankan dengan penuh disiplin dan berujung pada kesuksesan.Kompetensi inti kedua yaitu bertindak sebagai coaching, fasilitator dan konsultan. Perubahan organisasi pada dasarnya seperti berjalan di lorong-lorong gelap. Banyak warga organisasi yang tertatih-tatih dalam menelusuri lorong-lorong gelap tersebut. Bahkan banyak pula yang tersesat untuk kemudian berhenti berjalan atau mengundurkan diri dari organisasi. Disinilah peran penting dari seorang agen perubahan. Sang agen harus mampu menjadi coach dan fasilitator untuk menunjukkan kemana lorong gelap menuju. Bahkan sang agen harus pula menjadi konsultan bagi setiap anggota organisasi yang kebingungan ataupun yang ingin mengundurkan diri lantaran saking tidak tahunya akan kemana kemudi organisasi mengarah.Kompetensi inti terakhir, ketiga yaitu kemampuan menganalisis sistem. Ketika perusahaan sedang bertumbuh, diperlukan pemimpin berjiwa entrepreneur. Dengan jiwa entrepeneur tersebut maka seluruh rintangan, tantangan, keterbatasan dan ketiadaan sistem manajemen yang rapi mampu dijawab dengan baik. Namun ketika perusahaan sudah membesar, memiliki ratusan bahkan ribuan pekerja, cabangnya ada dimana-mana dan struktur organisasi melebar maka yang diperlukan kemudian adalah pemimpin berbasis pada sistem.Untuk kasus yang dihadapi Xerox, pemimpin berbasis sistem menjadi sebuah keharusan. Disamping karena organisasinya sudah sangat besar, Xerox sendiri sedang melakukan proses perubahan. Lagi-lagi Anne Mulcahy sangat piawai dalam menganalisis sistem. Pertama yang dilakukan adalah membenahi sistem keuangan dan human capitalnya. Baru kemudian sistem lainnya semisal pemasaran, operasional, distribusi maupun divisi-divisi yang ada di Xerox. Pada human capital yang dibenahi adalah mengarahkan SDM untuk berbisnis pada tingkat high end dimana mengubah dari penyedia mesin dan layanan dokumentasi menjadi perusahaan jasa dengan teknologi digital sebagai motor penggeraknya.Di dunia human capital sekarang sedang berlangsung perdebatan panjang menyoal implementasi human capital sebagai agen perubahan. Perdebatan ini memang mencerdaskan karena menempatkan divisi human capital tidak sekedar bermain pada wilayah administratif belaka. Hanya saja perdebatan ini menjadi tidak berujung pangkal. Untuk mengembalikan perdebatan ini pada wilayahnya alangkah lebih elegan bila berkaca pada kasus Xerox dengan Anne Mulcachy. Ternyata human capital sebagai agen perubahan bukanlah wacana omong kosong. Namun dapat dipraktikan. Jejaknya sudah ada: Xerox dan bekas Vice President Human Resources nya, Anne Mulcachy.

Management By Humanity

MANAGEMENT BY HUMANITY

Bagaimana perilaku pelaku bisnis di tanah air? Pertanyaan pendek ini lumayan sulit untuk dijawab. Apabila muncul, jawabannya tidak akan sependek pertanyaan tersebut. Bahkan jawaban itu akan melingkar-lingkar tanpa ujung pangkal yang berakhir pada ketidakjelasan. Mengamati perilaku pelaku bisnis di tanah air memang sebangun dengan mencermati perilaku pemain politik di negeri tercinta. Nyaris tidak terpetakan lantaran cepat berubahnya perilaku mereka mengikuti arah angin yang menguntungkan.
Walaupun nyaris tidak terpetakan, perilaku mayoritas (jadi tidak semua) pelaku bisnis di negeri ini dapat digradasikan ke dalam empat tahap. Tahap pertama, cerdas. Perilaku cerdas bisa dibuktikan dengan produktivitas mereka. Pengusaha di Indonesia nyaris berasal dari kalangan kebanyakan, lantaran kaum bangsawan mengaggap berdagang itu pekerjaan kasar. Bahkan banyak pula pengusaha yang datang dari negeri seberang hanya berbekal tekad dan semangat untuk maju. Dengan kecerdasan dan kerja keras yang luar biasa, mereka akhirnya mampu mengembangkan usaha dalam banyak lini. Mereka menguasai industri dari hulu sampai hilir. Lahirlah sebuah kelompok usaha yang disebut konglomerasi.Tahap kedua, cerdik. Ketika usaha mereka sudah menjadi konglomerasi, sementara lingkungan politik dimana mereka hidup sangat otoritarian birokratis, akhirnya mereka memerlukan patron-patron bisnis untuk melindungi dan semakin memperbesar bisnis mereka. Dengan cerdik mereka merangkul kaum birokrat dan militer untuk menjadi patron mereka. Lahirlah apa yang disebut patronase bisnis, dimana penguasa dan pengusaha berkolusi untuk memenangkan tender-tender bisnis. Tahap ketiga, lihai. Oleh pelaku bisnis, kosa kata bernama lihai menjadi sebuah kewajiban yang harus dimiliki. Bisnis sudah sangat besar, patron sudah dimiliki, langkah berikutnya adalah kelihaian untuk mengakali peraturan dan kewajiban. Ramai-ramai mereka merusak alam, menjarah tanah penduduk, mendirikan lembaga keuangan untuk mengeruk uang masyarakat yang kemudian untuk membiayai kelompoknya sendiri, melakukan kartel atau monopoli, mempraktekkan mark-up, menyelewengkan pajak hingga mengeksploitasi buruh. Mereka jelas melanggar peraturan. Namun karena kelihaian mereka plus dukungan para patron, sukseslah mereka dalam mengakali peraturan dan kewajiban.Tahap terakhir, keempat, licik. Dalam pengertian umum, licik diartikan sebagai tindakan cerdas yang sama sekali mengesampingkan moral. Perilaku licik mayoritas pelaku bisnis semakin kentara ketika krisis ekonomi melanda negeri ini. Kapitalisme semu yang dipraktekkan mayoritas konglomerat akhirnya harus dibayar mahal. Banyak perusahaan kolaps dan harus mati lantaran tidak kuat menanggung hutang dalam bentuk dolar. Turunlah dewa penyelamat - dalam hal ini pemerintah- untuk menalangi hutang-hutang mereka. Dari kasus ini semakin transparan kelicikan mereka. Tanpa malu mereka - dengan dibantu oknum birokrat- melakukan manuver-manuver baru untuk tetap mendapatkan perusahaan mereka kembali yang nota bene sudah milik pemerintah. Atau mereka sengaja membangkrutkan diri dengan alasan tidak mempunyai kapital segar. Padahal mereka melakukan investasi baru di negara-negara tetangga. Empat tahap perilaku mayoritas pelaku bisnis seperti disebutkan diatas memang akan menyisakan perdebatan baru. Apalagi belum ada sebuah kajian yang komprehensif meneliti perilaku para pelaku bisnis di tanah air. Namun mencermati realitas di lapangan, empat tahap perilaku pelaku bisnis mendekati kebenaran. Cerdas, cerdik, lihai dan licik menjadi jurus pelaku bisnis untuk mengembangkan dan kemudian menyelamatkan bisnisnya.

Minggu, 26 Oktober 2008

Adakah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan?

ADAKAH TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN?

“Hanya ada satu cara menghabiskan keuntungan besar – katakanlah bahwa pemilik dari waktu ke waktu selama hidupnya – menggunakannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.”Andrew Carnegie : The Gospel of Wealth and Other Timely Essays, 1862Dari mana perusahaan memulai tanggung jawab sosialnya? Sebuah pertanyaan pendek namun memiliki jawaban melingkar-lingkar berbuntut panjang. Pendekatan jawabannya pun tidak melulu pada disiplin bisnis semata, namun melebar merangkul wilayah ekonomi, sosial, budaya, bahkan politik. Tanggung jawab sosial perusahaan alhasil menjadi tanggung jawab hampir semua pihak yang peduli terhadap sepak terjang lembaga bisnis.Berkaca pada sejarah, akhirnya pertanyaan dengan jawaban melingkar-lingkar tersebut dapat dimampatkan pada satu kesimpulan sederhana: dimulai dari sang pemilik (pendiri). Beberapa contoh dapat dibeberkan, seperti Andrew Carnegie dan keluarga Mellon mendirikan Universitas Carnegie-Mellon. James B Duke dengan Universitas Duke dan Akademi Davidson. Disusul Stanford yang melahirkan Universitas Stanford. Keluarga Johnson sebagai penyumbang terbesar Universitas Cornell. Tentu tak ketinggalan Rockefeller sebagai penyandang dana Universitas Chicago dan Columbia. Belum lagi keluarga Ford yang memberi ribuan bea siswa bagi para cerdik pandai di seluruh bumi ini.Itu baru dari sisi pendidikan. Belum lagi dari bidang kesehatan, kebudayaan, sosial maupun bentuk-bentuk filantropi lainnya. Para manusia mega platinum seperti Bill Gates, George Soros, Warren Buffet hingga keluarga Walton, sekarang menjadi filantropis terbesar di muka bumi ini. Bahkan Bill Gates dan istrinya Laura Gates diganjar sebagai manusia tahun ini (person of the year) versi majalah Time karena telah menggelontorkan jutaan dolar US untuk proyek-proyek kemanusiaan.Contoh-contoh ini dapat menjelaskan bagaimana tanggung jawab sosial perusahaan dengan mudah dipraktikkan manakala sang pemilik (pendiri) mempunyai visi besar yang menggetarkan dan nilai-nilai keutamaan bagi kesejahteraan umat manusia. Terlepas dari kontroversi sang maha pengusaha tersebut – seperti sosok Rockefeller yang disebut sebagai baron perampok terbesar di masanya atau sosok Soros yang dicap sebagai penghancur ekonomi banyak negara – tampak bahwa visi dan nilai mereka akan mewarnai perusahaannya dalam berkiprah dalam masyarakat.Persoalan adalah tidak semua pemilik (pendiri) perusahaan mempunyai visi dan nilai-nilai kemanusiaan nan tinggi. Mayoritas pengusaha tetap berkiblat pada tesis Milton Friedman yaitu, ”Satu-satunya tanggung jawab perusahaan adalah untuk meningkatkan laba.” Pandangan tersebut diperkuat oleh Matthew Bishop editor The Economist,”Peran perusahaan adalah menjalankan bisnis yang baik, bukannya menyelamatkan dunia.” Tesis ini dijalankan dengan sempurna. Alhasil yang terjadi adalah pengguritaan bisnis yang melahap apapun juga sekedar untuk memperoleh keuntungan. Bisnis tak ubahnya mesin uang yang hanya mengenal tiga hal; produksi, keuntungan dan ekspansi. Nilai keutamaannya adalah hasil, bukan proses. Kaidah manajemen, yaitu efektivitas, efisiensi dan hasil berjalan dengan ketat. Sementara kaidah kepemimpinan yang bersinggungan dengan pemberdayaan, penyelarasan dan tanggung jawab sosial terpinggirkan.Pada sisi lain, banyak perusahaan sudah tidak memiliki pemegang saham mayoritas. Alias sahamnya dimiliki banyak orang ataupun lembaga. Bagaimana tanggung jawab sosial perusahaan harus ditumbuhkan pada kondisi perusahaan demikian ini?Tanggung jawab sosial perusahaan pada dasarnya adalah salah satu perwujudan dari tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG). Tanggung jawab sosial perusahaan tidak sekedar filantrofi ataupun karitatif dari perusahaan bagi masyarakat sekitar. Tindakan filantrofi dan karitatif idealnya sudah menjadi keharusan bagi perusahaan seperti juga keharusan untuk membayar karyawannya secara wajar dan membayar pajak dengan benar. Dalam bahasa manajemen, tanggung jawab sosial perusahaan merupakan salah satu kompetensi perusahaan seperti halnya kompetensi pemasaran, operasional, human capital dan keuangan. Kompetensi berhubungan dengan kecakapan dalam menjalankan operasional bisnis untuk memperoleh kinerja yang optimal. Agar kompetensi optimal maka harus dibuat aturan standar yang mana aturan tersebut selaras dengan strategi perusahaan secara keseluruhan. Aturan ini lazim disebut code of conduct. Code of conduct ini yang kemudian menjadi ‘kitab suci’ bagi organisasi dan individu yang bekerja pada organisasi tersebut. Salah satu butir dari code of conduct ini tak lain tanggung jawab sosial perusahaan. Dengan demikian perusahaan bersama seluruh manusia pekerjanya wajib melakukan tindakan sosial bagi perwujudan tanggung jawabnya. Contoh paling bagus adalah IBM yang memberi hari kerja bagi seluruh karyawan untuk beraktivitas sosial dengan tetap digaji tanpa dipotong hak cutinya.Tak kalah penting untuk membentuk perusahaan yang bertanggung jawab sosial adalah transparan dalam pengelolaan, baik itu transparan dalam produksi, pemasaran, penggunaan SDM dan keuangan. Transparan ini sebenarnya kata kunci dari konsep tata kelola perusahaan yang baik (GCG). Ketika perusahaan transparan dalam pengelolaan perusahaan tersebut mudah menjalankan prinsip GCG lainnya yaitu tanggung jawab, akuntabilitas dan keadilan. Terakhir, yaitu sikap profesional. Bisnis yang ditangani secara profesional dapat diukur dari kecakapan, keahlian dan kejujuran (integritas) dari seluruh warga organisasi perusahaan. Awal mula sikap profesional tentu dimulai dari para pemilik atau CEO-nya. Perusahaan lokal yang diakui kiprahnya bertanggung jawab sosial seperti Astra Internasional ditunjukkan oleh William Soerjajadja, T.P. Rachmat, Budhi Setiadharma dan sekarang Michael Ruslim. Konimex Group melalui Djoenedi Joesoep, Kompas-Gramedia dengan Jakob Oetama, Austindo melalui keluarga Tahija, Sido Muncul lewat sosok Irwan Hidayat dan Garuda Food dengan Sudhamek Agung. Warga organisasi perusahaan ini akhirnya mengikuti kiprah pemilik (CEO) nya untuk selalu profesional dalam bekerja.Tiga keutamaan ini – code of conduct, transparansi dan profesional – disamping tentu saja visi besar dan nilai-nilai keutamaan yang dianut pemilik (pendiri) adalah inti dari tanggung jawab sosial perusahaan. Alhasil perbincangan tentang tanggung jawab sosial perusahaan yang hanya menarik didiskusikan namun tergopoh-gopoh dalam pelaksanaan menemukan rohnya pada tiga keutamaan bisnis ini. Tanggung jawab sosial perusahaan tidak lagi bermain dalam dataran teori, namun sudah menukik pada dataran praktik. Dengan demikian gugatan sebuah pertanyaan “Adakah tanggung jawab sosial perusahaan?” menemukan jawabannya: Ada!”Yang dicapai kaum kapitalis bukan hanya memberikan lebih banyak kain sutera kepada ratu tapi membuat gadis pabrik mampu membeli kaus kaki sutera dengan harga murah.”J. Schumpeter : Capitalism, Socialism, and Democracy, 1942

Kamis, 23 Oktober 2008

Tanggung Jawab Spiritual dan Sukses Bisnis

http://web.bisnis.com/kolom/2id1595.html

Berikut tulisan saya yang bisa di klik di http://www.bisnis.com/ . Tulisan saya dapat anda nikmati di edisi cetak Bisnis Indonesia edisi Minggu dalam kolom SPRITUAL LEADERSHIP.

Jumat, 10/10/2008 11:19 WIB
Tanggung jawab spiritual dan sukses bisnis
oleh : A. M. Lilik AgungMitra Pengelola High Leap Consulting, praktisi bisnis

Sosok bernama Julius Tahija telah menjadi manusia paripurna. Sebagai warga negara, Julius Tahija menunjukkan dedikasi luar biasa melalui karir militernya dengan terjun langsung dalam perang merebut kemerdekaan, dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel.
Sebagai profesional bisnis, karirnya melesat jauh menembus labirin-labirin yang kelihatannya tak mungkin dikoyak dijamannya. Dia orang pribumi pertama yang memimpin langsung Caltex Pasific Indonesia.
Sebagai pengusaha, Julius mampu membiakkan bisnisnya menjadi raksasa yang disegani. Walaupun bisnisnya bukan terbesar dibidangnya, namun selalu dijadikan model tentang bagaimana menjalankan bisnis dengan benar dan berbasis pada aturan-aturan.
Tidak banyak orang tahu Austindo Group. Di bawah payung Austindo bercokol banyak perusahaan dengan empat lini usaha, yaitu jasa finansial, minyak sawit, rumah sakit, dan lainnya. Usaha dalam lini lainnya di antaranya geotermal, tobacco, power, dan resources.
Inilah kerajaan bisnis yang dibangun oleh Julius Tahija dan sekarang dipegang oleh dua orang anaknya. Di luar Austindo Group, Julius Tahija adalah pemilik Bank Niaga sebelum bank ini kena dampak krisis ekonomi 1998.
Menarik ketika pada saat bersamaan di tahun 70-an Julius membangun bisnis sendiri dan tenaganya masih diperlukan di Caltex dan Freeport. Dengan cakupan bisnis pada berbagai sektor strategis, sebenarnya pantas bila group bisnis yang dimiliki Julius Tahija melakukan kerjasama dengan Caltex dan Freeport.
Di samping bisnis pribadi Julius Tahija dijalankan dengan sangat profesional, kekuasaan jabatannya di Caltex dan Freeport memungkinkan berkongsi. Namun tindakan Tahija sudah jauh melampaui jamannya. Setiap perusahaan milik Tahija diberi instruksi keras baik lisan maupun tertulis untuk tidak mengadakan transaksi dengan Caltex atau Freeport selagi Tahija menjadi eksekutif di sana.
Prinsip bisnis
Ada beberapa prinsip bisnis yang dipegang teguh oleh Julius Tahija, baik ketika menjadi profesional ataupun menjalankan bisnis pribadi. Prinsip bisnis ini merupakan pengembangan dari etika bisnis China.
Tiga yang utama dan sangat relevan untuk kondisi kekinian bisnis di tanah air adalah, pertama, lunasi seluruh utang tepat pada waktunya. Inti dari prinsip ini sebenarnya sederhana; kepercayaan. Dalam berbisnis ketepatan membayar utang merupakan jaminan kepercayaan. Jika tertib dalam melunasi utang, dapat dikatakan perilaku pebisnis ini juga tertib dalam melayani pelanggan, tertib dalam memproduksi barang yang tidak membahayakan, tertib untuk membayar pajak dan ujungnya tertib untuk menjaga kepercayaan.
Kedua, untuk menjalin hubungan kerja yang diperlukan hanya jabat tangan. Kata-kata merupakan satu-satunya sumber kepercayaan yang harus dipegang. Kontrak bisnis memang perlu. Namun tetap di atas kontrak bisnis adalah kata-kata. Banyaknya kasus bisnis di negeri ini sebagian besar karena melanggar kata-kata yang disepakati. Tumpukan kontrak bisnis dengan menyewa pengacara alhasil hanya memperpanjang masalah yang justru menurunkan produktivitas bisnis.
Ketiga, yang boleh dibelanjakan hanyalah uang yang benar-benar sudah sah sebagai hasil keringat. Dari pengertian ini menurut Tahija uang hasil korupsi, pat gulipat, kongsi hitam dan suap jelas tidak layak untuk mengembangkan bisnis. Ataupun jika dipergunakan untuk berbisnis dipastikan bisnis demikian hanya berjangka waktu pendek dengan orientasi sesaat dan untuk tujuan hitam.
Dalam pengertian umum ada tiga peran dari seorang pemimpin, yaitu manajerial, etikal dan spiritual (Jansen Sinamo, 2004). Peran manajerial merupakan peran yang harus dilakonkan pemimpin untuk mengelola bisnisnya sesuai dengan kaidah manajemen kontemporer.
Dalam peran ini mengelola proses bisnis dari mulai perencanaan, eksekusi hingga evaluasi menjadi tanggung jawab pemimpin. Pendekatan keuangan, pemasaran, operasional, sumber daya manusia dan teknologi benar-benar harus dijalankan pemimpin.
Dalam peran manajerial, kepemimpinan Julius Tahija layak diacungi jempol. Bank Niaga bisa menjadi contoh kasus. Inilah bank pertama di negeri ini yang menjalankan prinsip pengelolaan perbankan dengan pendekatan modern.
Tidak tanggung-tanggung, yang dijadikan mitra untuk menjalankan operasional bisnis adalah Citibank. Tka tidak mengherankan bila dari rahim Bank Niaga lahir bankir-bankir profesional yang mempengaruhi hitam putihnya dunia perbankan di tanah air, seperti sosok Robby Djohan, Agus Martowardoyo, Peter B Stok, Winny Hasan, dan Arwin Rasyid.
Peran etikal berbeda dengan peran manajerial. Peran ini lebih pada cara pengamalan nilai-nilai etis berbisnis. Atau jika menggunakan bahasa bisnis kontemporer, peran etikal adalah peran pemimpin dalam menterjemahkan budaya perusahaan ke dalam perilaku seluruh warga organisasi.
Budaya Austindo Group yang dikembangkan bersumber pada prinsip bisnis yang diyakini oleh Julius Tahija. Kompetensi inti organisasi ataupun seluruh karyawan Austindo Group harus bermuara pada prinsip bisnis tersebut.
i sinilah evaluasi paling sempurna seorang pemimpin layak disebut menjalankan peran etikalnya. Walaupun sudah meninggal dan roda bisnis sudah berganti ke generasi kedua, kita tidak pernah mendengar Austindo Group berurusan dengan aparat penegak hukum karena, katakanlah melakukan suap atau ngemplang utang.
Peran spiritual menukik pada pemaknaan berbisnis. Dalam peran ini idiom bernama damai, cinta, kasih, pelayanan, dan ibadah menjadi ekspresi pemimpin untuk menjalankan bisnisnya sekaligus memperlakukan karyawannya.
Oleh Julius Tahija peran spiritual tidak berhenti pada kata-kata semata. Pribadi Julius Tahija yang sangat disegani, baik di dalam maupun luar negeri membuktikan bagaimana peran spiritual dijalankan tanpa retorika. Alangkah indahnya negeri ini bila para pemimpin (bisnis, lebih lagi politik) mengikuti jejak kepemimpinan Julius Tahija.

Selasa, 01 Januari 2008

Membaca Kaum Muda

Kompas Sabtu, 29 Desember 2007
Membaca Kaum Muda
Oleh: AM Lilik Agung

Dari sebuah gang di Jalan Kaliurang, Yogyakarta. Sebuah patung manusia
dengan wajah penguasa otoriter negeri ini dinaikkan ke atas becak dan
diarak menuju tempat demonstrasi. Halaman depan Balairung Universitas
Gadjah Mada semakin riuh atas kehadiran patung berwajah penguasa
otoriter tersebut.

Peristiwa itu pantas dicatat dalam sejarah penumbangan rezim otoriter
Orde Baru. Patung tersebut dibakar habis para demonstran. Inilah api
yang menyulut demonstrasi akbar para mahasiswa di hampir seluruh
pelosok Tanah Air.

Benar bila Indra Jaya Piliang menyebut bahwa gerakan mahasiswa 1998
bukan produk mahasiswa Jakarta, melainkan disampaikan secara
bergelombang dari sejumlah mahasiswa yang terluka dan terbunuh di
Medan, Lampung, Makassar, dan Yogyakarta. (Kompas, 15/12/2007). Ketika
para mahasiswa di Jakarta masih disibukkan dengan mengejar IPK dan
jalan-jalan di mal, mahasiswa daerah lain (terutama Yogyakarta dan
Bandung) harus menghadapi pentungan, gamparan, darah, penjara,
penculikan, hingga kematian untuk demokrasi.

Namun, ketika Indra Piliang menyebut bahwa kaum muda Jakarta hanyalah
kepala tanpa kaki tangan, buntung secara so- sial, tunasosial, dan
tanpa keringat, pernyataan ini jadi cacat yang layak untuk di- gugat.
Benar bahwa ada kaum muda Jakar- ta seperti apa yang disebut Indra.
Namun, banyak kaum muda Jakarta yang utuh secara sosial dan bergelut
dengan keringat untuk menegakkan keadilan sosial.

Sebagai contoh kasus yang dilakukan kaum muda profesional Jakarta
(baca: pelaku bisnis). Ketika terjadi bencana di mana pun di negeri
ini, kaum muda profesional Jakarta menjadi orang yang paling awal
mendatangi korban bencana tersebut. Walaupun semua kegiatan tersebut
bersifat karitatif, menandakan di tengah keterjepitan waktu mengejar
target pekerjaan, para profesional muda Jakarta melek secara sosial.
Hanya saja, aktivitas ini jauh dari publikasi media massa ataupun
perbincangan politik karena mereka memang tidak ingin ditampilkan ke
media massa seperti layaknya tokoh politik.

Bebas primordialisme
Pascagerakan mahasiswa 1998, tak bisa dielakkan mayoritas pelaku
gerakan berlarian menyerbu Jakarta. Sebagian bergiat pada ranah
politik praktis. Sebagian lagi bergiat di wilayah lembaga swadaya
masyarakat, media massa, ataupun kampus. Tak sedikit yang menjadi
profesional perusahaan atau menjalankan usaha sendiri.

Benar seperti apa yang ditulis Mohamad Sobary bahwa dibandingkan
dengan tokoh-tokoh bisnis, media, keilmuan, dan LSM, tokoh politik
kaum muda jauh tertinggal. Kualitas tokoh politik kita (kaum muda)
hanya setingkat dengan stereotip yang kita lekatkan kepada pegawai
negeri: seadanya, kurang kreatif, ogah berinisiatif, dan gigih menjaga
"tradisi" tak bertanggung jawab (Kompas, 2/12/2007).

Mengharap kaum muda memimpin negeri ini jelas tidak bisa diharapkan
hanya dari kaum muda yang sekarang bergiat di ranah politik.
Kolaborasi menjadi tidak terelakkan antara tokoh politik dan tokoh
bisnis, tokoh media, tokoh keilmuan, dan tokoh LSM. Mengoptimalkan
tokoh bisnis muda untuk ikut memimpin menjadi sebuah keharusan.

Ada banyak keunggulan tokoh bisnis muda dibandingkan dengan
tokoh-tokoh muda lainnya. Dari segi pendidikan, mereka sangat terdidik
dan bahkan banyak lulusan universitas terbaik di luar negeri. Dari
sudut ekonomi, mereka golongan masyarakat strata A yang tidak lagi
takjub untuk bepergian ke luar negeri ataupun rapat di hotel
berbintang. Dari sisi manajemen, mereka sudah bergaul intim dengan apa
yang disebut cara mengelola organisasi secara efektif dan efisien.
Lebih dari itu mereka relatif terbebas dari wawasan sempit
primordialisme lantaran lingkup kerja dan pergaulan mereka sudah
global. Hanya dua hal yang perlu dipoles dari mereka: kecakapan
berpolitik dan kecerdasan menggerakkan massa.

Kapitalisme
Pepatah bijak Sun Tzu mengatakan bunuhlah ular dengan rumputnya.
Pepatah ini pantas untuk menengahi opini Sukardi Rinakit (Kompas,
4/12/2007) dalam menjawab opini Sonny Mumbunan menyoal kereta baru
milik kaum muda, yaitu ekonomi pasar sosial (epasos), bisa jadi bakal
mogok karena bahan bakarnya keliru pada aras konsep (Kompas,
21/11/2007).

Kaum muda era sekarang dibesarkan dalam sebuah tatanan kapitalisme
global. Mereka melihat, merasakan, dan bergaul dengan kapitalisme.
Ketika tiba-tiba mereka harus membendung dengan kereta bernama epasos
jelas akan terengah-engah kehabisan napas. Cara paling cerdas,
"meniduri" kapitalisme tersebut dengan aktif di dalamnya.

Pada dasarnya kapitalisme bersifat netral. Ia bisa digerakkan individu
ataupun negara. Bahkan pada era ketika privatisasi BUMN sedang gencar
dilakukan di negeri ini, justru di negeri tetangga BUMN mereka
ramai-ramai mengakuisisi perusahaan swasta. Sebutlah contoh Temasek
(Singapura), Petronas (Malaysia), atau yang paling fenomenal, yaitu
Dubai Corporation (Uni Emirat Arab). Tiga raksasa besar BUMN ini yang
bisnisnya menggurita dan "lebih" kapitalis dibandingkan dengan
perusahaan multinasional seperti yang selama ini dipahami.

Lebih dari itu, kapitalisme bisa menjadi malaikat penyelamat apabila
berada di tangan orang-orang bijak. Bisa disimpulkan gerakan
filantropis global dengan penyandang dana nyaris tak terbatas berasal
dari perusahaan multinasional ataupun perorangan yang sejauh ini dicap
sebagai kapitalis buas. Bill Gates merupakan orang yang paling banyak
mengucurkan dana untuk kegiatan filantropis. Di bawahnya ada Warren
Buffet, Mike Bloomberg, dan George Soros yang jelas seorang kapitalis
murni.

Pada sisi lain, para penganjur ekonomi jalan tengah, epasos, ekonomi
kerakyatan, atau apapun namanya di negeri ini justru pendidikannya
banyak dibiayai oleh perusahaan kapitalis, semisal Toyota Foundation,
Ford Fondation, Rockefeller Foundation, hingga perusahaan lokal Astra
Foundation dan Sampoerna Foundation. Ada dikotomi di sini. Pada satu
sisi mereka menentang kapitalisme, tetapi di sisi lain mereka dibiayai
kapitalisme.

Prinsip paling bijak ketika kaum muda memulai memimpin, mereka
berkawan dengan kapitalisme. Jangan ketika kaki kanan bernama politik
masih rapuh harus mengamputasi kaki kiri ekonomi dengan melawan
kapitalisme. Sementara itu, konsep ekonominya sendiri masih
diperdebatkan. Roda ekonomi sebuah negara bukan sebuah konsep, tetapi
tindakan.

AM Lilik Agung Mitra Pengelola High Leap Consulting, Praktisi Bisnis

Kamis, 13 Desember 2007

Kontribusi Operator Seluler dalam Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal

Pada abad ke dua puluh satu ini, industri telekomunikasi menjadi industri yang sungguh fenomenal. Perkembangan radikal industri telekomunikasi telah menjadikan ia –industri telekomunikasi- sebagai industri ketiga terbesar di dunia ini, di bawah industri perawatan kesehatan dan perbankan. Kalau pada tahun 1999 total asset yang dilahap oleh industri telekomunikasi global mencapai angka $ 748 billion lalu pada tahun 2000 menggelembung ke angka $ 1 trilliun, maka di tahun 2007 ini sudah berbiak lebih pada angka $ 2 triliun. Sebuah jumlah yang sungguh fantastis.

Perkembangan spektakuler dari industri telekomunikasi ini lantaran didukung oleh tiga hal pokok; liberalisasi pasar, deregulasi sektor telekomunikasi dan penemuan tehnologi baru, khususnya tehnologi komunikasi. Liberalisasi pasar menyebabkan perpindahan modal dari satu negara ke negara lain lebih leluasa. Bahkan dapat disebutkan tidak ada sebuah negara manapun di dunia ini yang mampu hidup ‘berdikari’ tanpa bantuan modal dari negara lain.

Sementara disisi lain deregulasi menjadikan aturan dalam industri telekomunikasi bersifat global. Artinya secara prinsip hampir semua negara mempunyai peraturan sama, walaupun eksekusi keputusan dalam industri telekomunikasi ini berada di tangan negara atau swasta. Sistem, strategi, tata cara dan tehnologi industri komunikasi yang relatif seragam semakin memperkuat aturan main dalam dunia ini.

Kemajuan tehnologi komunikasi sebenarnya faktor paling berpengaruh terhadap melajunya industri telekomunikasi. Sifat dari tehnologi yang tidak mengenal batas negara dan nir idiologi menjadikan tehnologi komunikasi memasuki wilayah-wilayah negara yang mana negara tersebut tidak mampu mencegahnya. Apalagi bentuk dari tehnologi komunikasi dan informasi yang tidak hanya bersifat nyata (benda) namun juga virtual. Dunia virtual memungkin setiap orang disetiap negara mempunyai hak sama untuk mengakses tehnologi komunikasi.

Indonesia dan Industri Seluler
Tanpa ingin terjebak ke dalam indoktrinasi yang sifatnya idiologis, harus diakui bahwa negara Indonesia merupakan sebentuk negara yang unik sekaligus berpotensi. Dengan 17.000 pulau yang membentang sepanjang lebih dari 5.000 kilometer serta dihuni oleh lebih dari 220 juta manusia, Indonesia merupakan emerging market yang amat potensial untuk digarap. Aneka macam industri mempunyai peluang untuk memasuki pasar Indonesia. Salah satu peluang terbesar adalah industri telekomunikasi.

Telekomunikasi akan menjadi panglima baru dalam menyatukan wilayah dan manusia Indonesia yang tersebar di berbagai pulau. Ketika idiologi –apapun alirannya- telah menjadi usang saat dijadikan alat pemersatu bangsa, maka telekomunikasi dapat dijadikan alternatif guna mempersatukan bangsa tanpa harus menghilangkan keanekaragaman yang dimiliki. Indonesia Baru dengan telekomunikasi sebagai panglima, menjadikan suku Batak tetap menjadi Batak, Bugis tetap Bugis, Jawa tetap menjadi suku Jawa, Tionghoa tetap suku Tionghoa dengan segala budaya dan adat istiadatnya yang mewujud menjadi manusia utuh, manusia Indonesia.

Sebagai alternatif ‘idiologi’ baru untuk mempersatukan bangsa, peran yang diharapkan dari sektor telekomunikasi sangat luas. Jaringan telepon akan memudahkan manusia-manusia berbeda suku dalam berinteraksi. Radio-radio yang berdiri di tiap kota, desa hingga daerah-daerah terpencil akan memberikan kesadaran kepada seluruh warga negara bahwa Indonesia merupakan negara serba plural dengan aneka atributnya. Sementara media televisi semakin mengukuhkan makna dari pluralitas tersebut. Tidak kalah penting dan justru yang paling fenomenal adalah hadirnya industri seluler (telepon genggam) yang dapat diperoleh dengan cepat dan semakin murah sehingga memudahkan komunikasi antar warga negara yang berdiam diseluruh pelosok tanah air

Begitu berperannya telekomunikasi (baca: industri seluler) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka menjadi wajar bila masyarakat menginginkan Indonesia memiliki basis industri telekomunikasi seluler yang kuat, sehat, solid dan profit. Disamping akan memberi pengaruh dalam kehidupan politik, juga akan berimbas besar pada sektor ekonomi. Bahkan dapat dikatakan imbasnya lebih kentara pada wilayah ekonomi. Idiom-idiom seperti industrialisasi, tehnologi, investasi, restrukturisasi serta profitisasi yang melekat pada sektor telekomunikasi adalah idiom yang lebih dekat ke wilayah ekonomi ketimbang politik. Namun politik dan ekonomi merupakan sekeping mata uang yang tak terpisahkan. Pembangunan ekonomi memungkinkan demokratisasi; kepemimpinan politik menjadikannya nyata.

Industri Seluler dan Daerah Tertinggal

Ketika industri telekomunikasi berbasis seluler bertumbuh luar biasa dan Indonesia merupakan pangsa pasar yang sangat gemuk, pertanyaan gugatan selanjutnya adalah, ”Bagaimana peran industri seluler ini bagi pembangunan negara?” Bahkan yang lebih spesifik lagi adalah ”Bagaimana kontribusi industri seluler dalam percepatan pembangunan daerah tertinggal di negeri indah ini?” Pertanyaan gugatan ini perlu dimunculkan karena jangan sampai revolusi luar biasa dari industri seluler yang memberi banyak kemudahan bagi manusia hanya dinikmati oleh orang-orang perkotaan ataupun wilayah-wilayah lain di negeri ini yang disebut tidak tertinggal.

Sebagai gambaran, sampai awal Oktober 2007 ini di negeri tercinta 63 % dari total wilayah Indonesia masih tergolong daerah tertinggal. Atau bila memakai terminologi pemerintahan, masih tersisa 199 kabupaten yang masuk wilayah tertinggal. Dari sisa 199 kabupaten tertinggal tersebut, 28 kabupaten sudah naik statusnya menjadi ’maju.’ Namun pada sisi lain, justru 9 kabupaten merosot statusnya menjadi daerah tertinggal. Jadi total jendral daerah tertinggal adalah 180 kabupaten. Sebuah angka yang teramat tinggi untuk negeri Indonesia yang dikarunia sumber daya alam nan luar biasa.

Daerah tertinggal yang jikalau di peta diwarnai merah dan akhirnya menjadi mayoritas pada warna peta itu, wajib untuk segera dientaskan. Tidak mudah memang mengubah dari daerah tertinggal menjadi daerah maju. Diperlukan banyak pendekatan. Namun tak ayal lagi pendekatan pertama adalah kecakapan Sang Pemimpin (Bupati dan Gubernur) dalam mengelola wilayahnya. Sang Pemimpin ini yang akan menjadi lokomotif membawa gerbong daerahnya menuju daerah yang adil, makmur, gemah ripah loh jinawi, dan meminjam istilahnya almarhum Romo Mangunwijaya – semakin memanusiakan manusia penduduknya.

Tak dapat disangkal kecakapan Sang Pemimpin dalam mengelola wilayahnya perlu infrastruktur maupun suprastruktur yang memadai sehingga lokomotif tersebut bergerak maju membawa gerbong-gerbong kesejahteraan. Tiga infrastruktur berupa jalan raya, pelabuhan (bandara) dan tehnologi komunikasi merupakan hal yang wajib dibangun. Infrastruktur yang lain bisa menyusul belakangan.

Membangun infrastruktur bernama jalan raya dan pelabuhan (bandara) butuh investasi besar dan jangka waktu lama. Hal demikian berbanding terbalik dengan infrastruktur bernama tehnologi komunikasi yang relatif jauh lebih murah dan jangka waktu yang pendek. Terlebih lagi tehnologi komunikasi berbasis seluler. ’Cukup’ dengan membangun BTS dan tehnologi pendukung lainnya, telepon seluler sudah dapat beroperasi pada wilayah tersebut. Apalagi dukungan kemajuan tehnologi seluler yang berlari kencang. Tidak terlalu mahal bila pemerintah daerah tertinggal bersangkutan bekerjasama dengan operator seluler untuk membuka isolasi daerahnya dari dunia luar.

Sebagai gambaran sederhana, katakanlah daerah tertinggal bernama Kabupaten Lingga yang berada di Kepulauan Riau. Hanya sedikit masyarakat Indonesia yang tahu letak Kabupaten Lingga, apalagi bila tidak diembel-embeli Kepulauan Riau. Mungkin hanya masyarakat Kepulauan Riau yang tahu bahwa ada kabupaten bernama Lingga.

Untuk memajukan Kabupaten Lingga, tak salah lagi Sang Bupati beserta aparat terkaitnya harus mengenalkan Lingga kepada dunia luar. Jika masyarakat umum (terutama investor) tahu tentang Kabupaten Lingga beserta kekayaan alamnya yang amat berpotensi untuk dijadikan bisnis, tak ayal lagi pasti investor mau menanamkan uangnya untuk menggarap potensi yang ada. Cara terbaik, termudah dan tercepat untuk mengenalkan Kabupaten Lingga ini tak lain melalui kecanggihan tehnologi seluler.

Tehnologi seluler yang telah bermetamorfosis tidak sekedar untuk alat berkomunikasi lisan semata namun berkembang jauh memasuki ranah informasi lain dengan mudah akan mengirim informasi perihal Kabupaten Lingga. Web Kabupaten Lingga yang didesain entah di wilayah mana dapat terus di perbarui karena dari Kabupaten Lingga sudah bisa tersambung koneksi internet. Foto-foto terbaru maupun gambar-gambar potensi alam yang dimiliki Kabupaten Lingga dapat disebarkan keseluruh media massa yang ada di negeri ini melalui tehnologi 3G. Dus jika orang (investor) berkunjung ke Kabupaten Lingga dengan mudah dapat berkomunikasi dengan pihak luar karena koneksi seluler sudah merambah hampir semua wilayah Lingga.

Era sekarang adalah era komunikasi. Siapa atau wilayah mana yang melek dengan komunikasi dengan cepat akan bisa berkompetisi dengan orang atau wilayah lain. Infrastruktur tehnologi seluler yang dibangun di Kabupaten Lingga sehingga membuat melek warga Lingga akan komunikasi, dapat dipastikan Lingga akan dengan cepat mengejar saudara-saudaranya yang sudah maju. Batam, Bintan, Kepulauan Bengkalis yang merupakan tetangga dekat, dalam waktu relatif tidak lama bisa disamai kemajuannya oleh Kabupaten Lingga apabila Kabupaten Lingga bekerja sama dengan operator seluler membuka jaringan seluas-luasnya pada seluruh wilayahnya agar melek dan mudah berkomunikasi.

Gambaran dari Kabupaten Lingga ini dapat menjawab pertanyaan gugatan seperti pada tulisan terdahulu: ”Bagaimana kontribusi industri seluler dalam percepatan pembangunan daerah tertinggal di negeri indah ini?” Ya, industri seluler dapat mempercepat pembangunan daerah tertinggal karena beberapa alasan:

Pertama, membangun infrastruktur tehnologi seluler relatif jauh lebih murah dan cepat dibanding membangun dua infrastruktur penting lainnya, yaitu jalan raya dan pelabuhan (bandara). Dengan kelebihannya, yaitu jaringan tanpa kabel, tehnologi seluler dapat melakukan penetrasi sampai ke pelosok-pelosok daerah yang tertinggal.

Kedua, perluasan pemakaian tehnologi seluler akan memudahkan masyarakat (investor) mengakses sebanyak-banyaknya potensi dari daerah tertinggal bersangkutan. Semisal salah satu daerah tertinggal di wilayah Papua yang berada di pedalaman, maka dengan fungsi-fungsi tehnologi seluler yang bisa untuk mengambil gambar, tersambung di kabel internet maupun fungsi lain dari 3G atau bahkan 3,5G maka pemerintah daerah tertinggal bersangkutan dapat dengan mudah menginformasikan hal-hal yang diperlukan masyarakat (investor) untuk melakukan aktivitas bisnis di wilayah tersebut.

Ketiga, tehnologi seluler mudah diperoleh dan mudah digunakan. Bahkan ada kecenderungan harga dari tehnologi seluler selalu menurun. Ditambah lagi tarif murah yang ditawarkan operator seluler, menyebabkan warga daerah tertinggal mampu untuk menggunakannya. Mudah dan murahnya berkomunikasi dengan pihak luar merupakan awal yang baik untuk keluar dari ketertinggalannya.

PT Excelcomindo Pratama (XL) sebagai pemain besar industri seluler dan merupakan salah satu pioner dalam memasyarakatkan seluler, mempunyai peluang besar untuk ikut memajukan daerah tertinggal di negeri indah ini. Apalagi jangkauan XL yang saban waktu bertambah luas dan selalu menggunakan tehnologi terbarukan. Pelosok-pelosok maupun pinggiran-pinggiran laut yang merupakan kantong-kantong dari daerah tertinggal di negeri ini akan dengan mudah dijangkau oleh XL. Dengan demikian percepatan pembangunan daerah tertinggal menemukan jalan keluarnya. Jika kelak daerah tertinggal semakin hilang dari peta negeri ini, peran XL akan tercatat dalam sejarah. Ya, XL tercatat dalam sejarah! Amin.


Tentang Penulis

A. M. Lilik Agung adalah Mitra Pengelola High Leap Consulting. Selain dipercaya menjadi Trainer di berbagai perusahaan ternama, alumnus UGM ini juga aktif sebagai Penulis di Majalah SWA, Harian Bisnis Indonesia dan juga Harian Kontan.